Senin, 23 Agustus 2010

Yosua 2:1-24

YOSUA 2:1-24


Tindakan yang cukup berani. Mungkin inilah kesan pertama kita tatkala melihat isi perikop ini. Mengapa demikian? Hal ini karena perikop yang telah kita baca mengisahkan tentang seorang wanita sundal bernama Rahab, yang menyembunyikan dua orang pengintai atau mata-mata di sotoh rumahnya dan menyembunyikan mereka di bawah timbunan rumah ketika mereka tengah mengamat-amati kota Yerikho. Bila ini terjadi dalam kehidupan kita, mungkin kita justru akan mengalami perasaan ketakutan. Takut kalau-kalau kita juga ditangkap atau takut kalau kita dianggap salah karena telah menyembunyikan pengintai atau musuh, inilah yang mungkin berkecamuk dalam pikiran kita. Namun tidak demikian dengan Rahab. Ia justru bersikap sebaliknya. Ia berani untuk melakukan sebuah hal yang mungkin dapat membahayakan dirinya.

Pertanyaan yang muncul adalah siapa itu Rahab? Rahab adalah seorang perempuan sundal yang mempunyai rumah pada tembok kota Yerikho. Alkitab memang hanya menjelaskan bahwa ia merupakan seorang yang menerima mata-mata orang Israel dan menyelamatkan mereka dari kejaran Raja Yerikho. Tindakan Rahab yang mengandung konsekuensi ini tentu dilakukan atas dasar alasan tertentu. Ia melakukannya karena keselamatan diri dan keluarganya.

Akan tetapi, ada hal menarik yang tampak dalam diri seorang Rahab. Pada ayat ke-9 dan10 dituliskan dengan tegas bagaimana pernyataan iman Rahab. Ketika ayat ke-9 memulai dengan pengakuan “Aku tahu, bahwa Tuhan …” Ungkapan ini hendak menegaskan secara tersurat bahwa Rahab menyatakan keyakinan dan kepercayaan kepada Allah bangsa Israel itu. Ia juga bersedia untuk memasrahkan dirinya kepada kuasa dan anugerah dari Allah yang Mahakuasa dan Mahabesar. Sesuatu yang sangat penting yang ada dalam diri Rahab secara pribadi.

Singkat cerita, bagian akhir perikop ini menuliskan bahwa setelah ia menyelamatkan dua orang pengintai tersebut dengan menyuruh mereka pergi ke pegunungan dan bersembunyi di sana selama tiga hari, pada akhirnya Rahab pun diselamatkan, yaitu tatkala kota Yerikho direbut dan dirampok habis-habisan.   

Melalui Firman Tuhan yang telah kita baca pada saat ini, maka ada sebuah hal penting yang dapat kita petik untuk kita nyatakan dan aplikasikan dalam kehidupan kita hari lepas hari. Kisah ini mengajak kita untuk belajar dari keteguhan seorang Rahab yang menyatakan iman percayanya hanya kepada Allah. Dalam praktik hidup yang kita jalani, mungkin ini mudah dan dapat kita nyatakan/ungkapkan. Namun menjadi sebuah hal yang sulit ketika kita diajak untuk melakukannya. Tak jarang kita menjadi seorang yang ‘goyah iman’ saat kita diperhadapkan pada sebuah situasi yang sulit. Namun, mari kita belajar dari sosok Rahab yang setia dan percaya kepada Tuhan dalam segala hal. Tuhan menguatkan kita senantiasa.  
           

Belajar dari Kitab Ester

ESTER 4:1-17


Jikalau kita berbicara mengenai Kitab Ester, maka kita mengingat bahwa kitab ini  terkenal sebagai sebuah kitab yang berisikan tentang perjuangan dan keberanian seorang wanita yang bernama Ester, beserta dengan Mordekhai (paman Ester yang kemudian mengangkat Ester menjadi anaknya) dalam memperjuangkan bangsanya yaitu bangsa Yahudi. Perjuangan yang mereka lakukan ternyata tidak mudah, karena ada begitu banyak tantangan, pergumulan, yang muncul dari pihak luar, dan salah satu yang menonjol adalah Haman, seorang yang diangkat raja dengan kedudukan yang lebih tinggi dari semua pembesar yang ada di istana raja.

Secara khusus bagian perikop yang kita baca ini memberikan fokus penekanan pada upaya Mordekhai untuk memberitahukan kepada Ester akan bahaya yang mengancam kehidupan semua orang Yahud. Menarik bahwa setelah mendapatkan informasi mengenai hal tersebut, Ester segera bertindak. Ia memulai dengan menyuruh Mordekhai untuk pergi dan mengumpulkan semua orang Yahudi yang terdapat di Susan, agar mereka berpuasa baginya sebelum ia menghadap raja  untuk memperjuangkan keselamatan Bangsa Yahudi. Apa yang dilakukan ini sebenarnya hendak menegaskan sebuah hal penting bahwa di tengah keterbatasan dan kelemahan yang ada dalam dirinya sebagai manusia, Ester menyatakan kepasrahannya pada pertolongan yang ilahi. Permohonannya untuk dukungan dalam tiga hari berpuasa sebelum menghadap raja tersebut dengan sangat jelas hendak menyatakan bagaimana ia menyerahkan dan memasrahkan diri pada Allah. Hingga akhirnya, jika kita terus mencermati perikop-perikop selanjutnya, kita dapat melihat bagaimana perjuangan Ester itu menghasilkan sesuatu yang terbaik bagi dirinya, juga bagi bangsanya.    

Apa yang dapat kita pelajari melalui perikop ini? Ada beberapa hal penting yang dapat kita renungkan melalui Firman Tuhan ini:

1.      Belajar untuk peka dan peduli bagi orang lain. Inilah hal utama yang dapat kita refleksikan melalui kisah ini. Setelah memperoleh informasi dari Mordekhai, Ester segera, tidak tunda-tunda lagi dalam mengupayakan yang terbaik bagi keselamatan bangsanya. Tergambar bahwa ia sungguh peduli dan mengasihi bangsanya itu.

2.      Hal berikut yang dapat kita renungkan adalah belajar dari keberanian dan perjuangan seorang Ester dalam usaha untuk menyelamatkan bangsa Yahudi. Kendati ia juga menyadari bahwa hal itu tidak mudah, bahkan pada ayat ke-16 dituliskan bahwa “kalau terpaksa aku mati, biarlah aku mati”, namun ia tetap melakukan yang terbaik bagi bangsanya. Bila hal itu kemudian kita aplikasikan dalam kehidupan kita, ternyata tidak mudah untuk dilakukan. Sulit bagi kita untuk berani melakukan sebuah tindakan dengan resiko yang juga tidak mudah yang harus kita hadapi. Namun sekali lagi ditegaskan bahwa ini menjadi sebuah tantangan bagi kita bersama. Mari kita belajar dari seorang Ester yang sanggup berjuang untuk bangsa yang dikasihinya dengan penuh keberanian dan penyerahan diri sepenuhnya hanya kepada Allah.         


Mengenal dan Menghayati Liturgi dalam Ibadah

“Mengenal dan Menghayati Liturgi dalam Ibadah”

 1.       Pemahaman dasar tentang Liturgi
Liturgi adalah istilah lain dari ibadah. Selain itu, ada beberapa istilah yang muncul terkait dengan hal ini: worship (hal yang layak dilakukan, namun secara khusus, worship di sini mengacu pada pelaksanaan ibadah yang dilakukan), service (pelayanan), office (dari kata officium: kesediaan melayani, kewajiban), cult (kultus). Akan tetapi dari semuanya itu, kata yang paling umum digunakan adalah liturgi.  
Secara definisi, istilah ‘liturgi’ ini berasal dari kata Yunani leiturgia (laos artinya rakyat, bangsa, publik, masyarakat, atau umat; sedangkan ergon artinya kerja atau pelayanan). Dengan demikian, melalui definisi ini, dapat disimpulkan bahwa liturgi adalah pekerjaan publik atau pekerjaan yang dilakukan oleh rakyat/jemaat secara bersama-sama. Dalam kajian secara teologis, liturgi kemudian diartikan sebagai kegiatan peribadahan dimana seluruh anggota jemaat harus terlibat secara aktif dalam pekerjaan bersama untuk menyembah dan memuliakan nama Tuhan.
Dasar Alkitabiah liturgi/ibadah: PL à digunakan untuk tugas imam dan orang Lewi dalam Kemah Suci atau Bait Allah, khususnya untuk pelayanan mesbah. PB à digunakan untuk tugas imam (Luk 1:23). Pekerjaan Yesus juga sebagai imam yang melayani ibadah di tempat kudus (Ibr 8:2,6), pekerjaan Rasul dalam Pekabaran Injil (Rom 15:16), pekerjaan malaikat yang melayani (Ibr 1:7, 14), jabatan pemerintah (Rom 13:6): mereka yang mengurus hal itu (pajak) adalah pelayan-pelayan Allah, ataupun pengumpulan persembahan untuk orang miskin (II Kor 9:12; Fil 2:30)

2.       Unsur-unsur Liturgi
Ada beberapa unsur dalam liturgi yang lazim kita gunakan:
§  Doa
Doa yang dimaksud ada beberapa jenis, yaitu: doa pembukaan, doa pengakuan dosa, doa pelayanan Firman, serta doa syafaat.  
§  Nyanyian Jemaat
Apa fungsi nyanyian dalam sebuah ibadah?
a.       Nyanyian dapat digunakan sebagai pemberitaan Firman Tuhan dan kehendak-Nya (Ulangan 31:16-22). Jika melihat perikop dalam Kitab Ulangan ini, dikisahkan tentang pemanggilan Allah kepada Musa untuk menyampaikan Firman dan kehendak-Nya kepada bangsa Israel yang telah mendua hati, dan penyampaian tersebut dilakukan dalam bentuk nyanyian yang diajarkan Musa kepada Bangsa Israel.
b.      Nyanyian dan musik dapat digunakan sebagai ekspresi iman atas apa yang telah Allah perbuat bagi kita: mensyukuri berkat Tuhan, menyesali dosa, menyatakan tekad dan kesanggupan serta mengakui iman (Mazmur 68:25-27). 
§  Pemberitaan Firman
Dalam gereja-gereja reformasi termasuk di dalamnya GKI, pemberitaan Firman menjadi bagian penting atau inti kebaktian gereja-gereja reformasi.  Gereja Reformasi berpandangan bahwa Allah menyatakan diri-Nya dalam ibadah lewat Alkitab yang dibacakan dan dikhotbahkan. Ketika firman dibacakan dan dikhotbahkan, Yesus Kristus sendiri hadir dan menyapa jemaat. Dengan demikian, kegiatan utama di sini adalah komunikasi, yaitu Allah berbicara melalui Alkitab, dan umat yang hadir menanggapinya. Dalam pelayanan firman, Kristus, sang Firman yang hidup itu sendiri hadir. Tidak hanya itu, kisah keselamatan diceritakan, dikenang, diproklamasikan, dinyanyikan, serta diutuskan agar umat menjalankan cerita itu dalam kehidupan mereka sehari-hari. Adalah tugas pengkhotbah untuk "menghidupkan” kata-kata yang terdapat dalam Alkitab hingga menjadi relevan bagi pendengar masa kini.
§  Persembahan atau Pelayanan Meja
Pelayanan Firman tidak dapat dipisahkan dari pelayanan meja. Pelayanan meja yang dimaksud adalah persembahan syukur sebagai respons atau kesediaan umat setelah menerima Firman Allah. Melalui Firman, umat bersedia untuk menaati bukan hanya verbal, namun juga dalam tindakan nyata yaitu mengumpulkan persembahan. Persembahan tersebut akan digunakan untuk mendukung kehidupan gereja dalam arti luas.

Untuk kebaktian Minggu, unsur-unsur liturgi juga mencakup votum dan salam, Pengakuan Iman, Pengutusan dan berkat. Akan tetapi, dalam ibadah rumah tangga, PerWil, ataupun juga persekutuan, umumnya dapat digunakan unsur-unsur liturgi seperti yang telah dijelaskan dalam point-point sebelumnya.
Ritus dan unsur-unsur liturgi dewasa ini adalah hasil pembentukan selama berabad-abad. Akar-akarnya telah ada sejak zaman gereja awal, bahkan sejak umat Yahudi di dalam PL. Yesus tidak pernah memberikan tata ibadah yang harus dilakukan oleh gereja. Informasi Alkitab mengenai bentuk liturgi gereja awal berdasarkan Kis 2:4-42 menuliskan: orang-orang yang menerima perkataannya itu memberi diri dibaptis. Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Tidak ada informasi detail tentang tata liturgi, hanya disebutkan adanya baptisan, pengajaran, persekutuan, pemecahan roti, dan doa dalam gereja awal. Namun demikian, tata liturgi yang ada dan digunakan oleh gereja saat ini cenderung mengacu pada ibadah Yahudi (tata liturgi yang umum digunakan: pembacaan Alkitab, menyanyikan Mazmur dan puji-pujian, homilia, serta doa termasuk doa syafaat)  

3.       Pelayanan dalam Persekutuan Komisi Dewasa
Dalam sebuah persekutuan seperti halnya persekutuan komisi dewasa di tempat ini, ada beberapa
orang yang turut ambil bagian dalam pelayanan, antara lain sebagai liturgos, pemimpin renungan Firman Tuhan, ataupun mereka yang bertugas untuk memanjatkan doa.
a.       Liturgos secara harafiah, liturgos berarti pemimpin liturgi. Umumnya liturgos ini berperan untuk memimpin jalannya liturgi dari awal ibadah hingga akhirnya. Pertanyaannya adalah kira-kira apa saja tugas seorang liturgos?

-Menyiapkan liturgi persekutuan, termasuk di dalamnya memilih dan menentukan lagu-lagu yang akan dinyanyikan bersama, memilih ayat/bahan Firman Tuhan yang akan digunakan sebagai pembuka ibadah, ataupun memilih Mazmur yang akan dibacakan secara responsorial (bila dalam liturgi akan dibacakan Mazmur).
-Menyiapkan diri dalam menyampaikan liturgi (terkait dengan teknis pelaksanaan: tidak terlalu cepat, jelas, sungguh-sungguh menjadi sebuah penghayatan bagi umat yang mendengarnya) 

Pada praktiknya, memilih lagu/puji-pujian dalam ibadah dan persekutuan ternyata tidak mudah. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain:

ü  Alangkah indahnya bila pemilihan puji-pujian disesuaikan dengan tema renungan Firman Tuhan yang disampaikan, sehingga menjadi suatu kesatuan ibadah yang utuh dan mengalir. Misalnya saja tema Firman Tuhan adalah “Mengalami Kebaikan Allah”, maka puji-pujian yang dipilih pun diarahkan ke tema tersebut.
ü  Lagu-lagu yang dipilih pun harus disesuaikan dengan waktu dinyanyikan (apakah dinyanyikan di : awal/pembukaan, pengakuan dosa, persembahan, penutup/akhir ibadah). Dalam buku-buku nyanyian yang direkomendasikan oleh GKI (NKB,KJ, dan PKJ), sudah ada pembagian tersebut, dan ini tentunya sangat membantu kita semua. Ambil saja sebagai contoh KJ 1-22 dapat dinyanyikan di awal ibadah sebagai sebuah pujian untuk menghadap Allah dan mengagungkan nama-Nya, sedangkan KJ 49-59 dinyanyikan ketika pelayanan Firman, demikian seterusnya.    
ü  Akan lebih baik lagi bila dalam memilih lagu yang akan dinyanyikan, kita juga melihat dan memperhatikan setiap syair dalam lagu itu atau bahkan sejarah lagu itu ditulis (ada sebuah buku ‘Kisah Kidung’ yang dapat membantu kita). Ini akan menolong kita untuk semakin menghayati lagu tersebut.  

Demikian pula dalam pembacaan Mazmur secara responsoria, diharapkan dipilih bagian Alkitab dalam Mazmur yang sesuai atau mengarah pada tema Firman Tuhan dalam ibadah tersebut. Kitab Mazmur merupakan kesaksian yang ditulis oleh Pemazmur karena Sang Pemazmur merasakan begitu banyak hal dalam hidupnya.

Mazmur adalah Kitab dengan pasal yang terbanyak (150 pasal), dan setiap pasal memiliki keunikannya sendiri. Untuk pembukaan atau ajakan beribadah (misalnya dapat diambil dari Mzm 33,  48, 50, 63, 84, 100, 103,117, 118, 145-150, dll. Selain itu, ada pula tema-tema teologis dalam kitab Mazmur yang menarik untuk diperhatikan. Misalnya saja tentang perlindungan Allah bagi umat manusia, janji dan kesetiaan Allah serta keadilan Allah bagi umat manusia (misalnya Mzm 7,9,10,11,23,27,28,31,34,42,43,46,52,57,62,64,73-75,dlsb); Mazmur yang berisikan nyanyian syukur dan doa (misalnya Mzm 4,5,6,12,13,18,20,21,25,30,35,38, 39,40, dlsb), ataupun Mazmur yang berisi nasihat, dll. Ini dapat digunakan dalam pembacaan Mazmur secara responsorial.   
------Informasi: untuk saat ini, dapat digunakan urutan liturgi seperti yang ada di liturgi PerWil------

b.      Pemimpin renungan Firman Tuhan à bertugas untuk mempersiapkan diri dalam pelayanan FIrman. Selain sebagai liturgos, ada pula di antara kita yang akan mendapat kesempatan untuk memimpin renungan Firman Tuhan. Tentu hal ini juga tidak mudah dalam praktiknya. Diperlukan persiapan yang matang dalam pelaksanaannya. Dalam menyiapkan renungan yang akan kita beritakan, penting bagi kita untuk melihat bahan Alkitab yang telah disiapkan tersebut, lalu digali apa pesan Firman Tuhan bagi kita, tentu dengan memperhatikan perbedaan situasi teks dan konteks yang ada. Hal lain yang utama ketika menyampaikan Firman Tuhan adalah bagaimana sapaan Firman Tuhan itu menjadi relevan dan bersifat aplikatif-reflektif bagi umat yang mendengarnya.       

c.       Tugas berdoa : baik doa pembukaan, doa syafaat ataupun juga doa penutup. Tugas untuk berdoa ini juga melibatkan kita semua, sebagai umat yang hadir dalam persekutuan. Hal utama yang diingat ketika berdoa adalah bagaimana kita berkomunikasi kepada Tuhan. Persoalan yang timbul adalah ada beberapa orang yang merasa kesulitan untuk berdoa karena tidak dapat merangkai kata-kata dengan indah, padahal dalam berdoa yang utama adalah ketulusan hati kita untuk ‘berbicara’ kepada Tuhan dalam sebuah komunikasi itu. Ini penting untuk menjadi perhatian kita bersama.   









o   Tidak bersedia (dimulai dari dalam diri sendiri) à keinginan untuk melayani
o   Ada perasaan diri yang muncul à kurang PD. Contoh konkret: saya kurang bisa berbicara di depan umum, kurang siap kalau diminta berdoa, kurang bisa menyanyi dan tidak tahu not, pengetahuan Alkitab yang masih kurang, dlsb.
o   Kurangnya persiapan à sering ditunjuk secara mendadak; minimnya pengetahuan tentang menjadi seorang liturgos, atau pemimpin renungan.
 



 TIPSSSS


ü  Percaya DIri, yakin bahwa “saya bisa” dan mempunyai kemampuan yang telah Tuhan anugerahkan.
ü  Terus melatih dan membekali diri untuk lebih baik dalam pelaksanaannya, entahkah sebagai liturgos, pemimpin renungan Firman Tuhan ataupun jika mendapat tugas untuk berdoa (salah satunya dalam pembinaan liturgos dan pembinaan persiapan pelayan Firman)
ü  Belajar untuk siap ketika ditugaskan untuk turut ambil bagian dalam pelayanan di persekutuan.




Selamat Melayani
Tuhan Memberkati
G.T

Kepingan-kepingan Peristiwa yang Baru itu sudah menanti di hadapan kita - renungan paideia januari 2010

Renungan Paidea Januari-Februari

“Kepingan-kepingan Peristiwa yang Baru itu Sudah Menanti di Hadapan Kita…”


Tidak dapat dipungkiri, jaringan komunikasi sosial masih menjadi sesuatu yang fenomenal akhir-akhir ini. Salah satunya adalah facebook. Kalau kita perhatikan, sudah begitu banyak orang dari semua generasi (mulai dari anak-anak Sekolah Dasar hingga mereka yang sudah layak disebut lanjut usia) memiliki account facebook ini. Di berbagai tempat mereka sering mengubah-ubah status atau yang kerapkali dikenal dengan update status. Pernah suatu kali penulis iseng membaca update status seorang rekan dan dituliskan demikian: “…sedang tidur” . Ketika membaca update status tersebut, penulis bertanya-tanya bahkan sedikit kebingungan. Bagaimana mungkin seorang yang sedang tidur dengan pulasnya dapat mengetik status facebooknya dengan lancar? Memang, belum tentu ia benar-benar sedang tidur. Akan tetapi, jika kembali membaca apa yang dituliskan olehnya dan kita pikirkan secara logis, tentu saja hal tersebut membuat penulis tersenyum dalam hati. Kok bisa? Inilah kurang lebih pertanyaan yang muncul dalam benak penulis. Namun, inilah yang terjadi dalam kehidupan kita saat ini. Trend facebook, sudah mewarnai kehidupan masyarakat modern. Setiap orang tidak mau ketinggalan untuk ikut serta pada trend tersebut.

Kalau boleh jujur, penulis juga termasuk dalam kategori orang yang tidak mau ketinggalan dengan perkembangan teknologi yang ada saat ini. Karena sudah sejak awal penasaran, maka penulis pun akhirnya mendaftar pada jaringan komunikasi sosial tersebut, dengan harapan dapat memperluas persahabatan penulis dengan orang lain, termasuk juga teman-teman yang mungkin sudah lama tidak bertemu dengan penulis. Singkat cerita, kini penulis memiliki account facebook yang terkadang menolong penulis untuk mendapat informasi secara cepat mengenai hal-hal penting (penulis kerapkali terperangah ketika pernah mendapatkan undangan hadir dalam pertemuan kampus, konven pendeta dan calon pendeta, bahkan juga rapat untuk kegiatan gereja melalui facebook). Ini semakin memberikan penggambaran bahwa teknologi yang ada saat ini sangatlah canggih, sehingga informasi-informasi seperti itu pun sudah dapat disampaikan melalui facebook. Tentu saja ini menjadi sebuah hal yang dapat dilihat dari sudut pandang positif, kendati tak dapat dihindari aspek negatif dari penggunaan facebook pun sudah mulai menjamur. Ambil sebagai contoh sudah banyak orang saat ini yang privasinya terganggu akibat update status di facebook. Tidak hanya itu, saat ini sudah banyak orang yang meluapkan emosinya, sampai mencaci-maki, dengan menggunakan facebook. Belum lagi bila problem kecanduan facebook sudah mewabah, hal ini haruslah diwaspadai dan dihindari.     

Dalam renungan Paidea kali ini, tentu saja penulis tidak akan menguraikan mengenai fenomena facebook yang sedang mewabah masyarakat kita sekarang ini, namun penulis justru ingin menceritakan sesuatu yang menarik dan positif, yang penulis temukan dalam salah satu tampilan facebook seorang rekan calon pendeta. Dalam salah satu wallnya, rekan penulis tersebut menuliskan demikian: "setiap peristiwa adalah kepingan yang merangkai hidup. setiap peristiwa unik dan indah adanya, tidak ada yang tak penting, tak ada yang tak berharga... karena sesungguhnya tanpa peristiwa demi peristiwa hidup tidak akan terangkai lengkap". Ketika membaca tulisan ini, penulis tiba-tiba terdiam dan merenungkan setiap kata yang ada di dalam kalimat tersebut. Di sini penulis menyadari akan peristiwa kehidupan yang dialami oleh penulis dan tentu saja oleh kita semua. Penulis terperanjat tatkala menyadari bahwa setiap peristiwa yang kita hadapi, entahkah suka ataupun sebaliknya duka, adalah sesuatu yang berharga bagi setiap kita. Semuanya menjadi kepingan yang merangkai kehidupan dan membentuk kita sehingga menjadi pribadi yang matang dan dewasa baik secara fisik, maupun rohani. Kepingan-kepingan peristiwa tersebut akan menjadi bagian dalam hidup kita, yang tentu saja tidak akan terlupakan. Melalui peristiwa-peristiwa yang dihadapi tersebut, tanpa kita sadari atau bahkan dengan kita sadari, sebenarnya iman kita dapat dibentuk oleh serangkaian proses yang kita jalani setiap harinya. Ini tentu menjadi sesuatu yang penting bagi kita, tatkala merefleksikan apa arti sebuah kehidupan.

Mengapa penulis menggunakan tulisan seorang rekan dalam renungan ini? Karena tanpa terasa kita sudah menyongsong tahun yang baru yaitu tahun 2010. Ketika menulis renungan untuk buletin Paidea edisi bulan Januari-Februari ini, penulis tengah berada pada beberapa pekan terakhir di tahun 2009. Kalau kita sedikit mengingat apa yang terjadi di tahun 2009 ini, ternyata ada begitu banyak peristiwa yang telah kita lalui. Tidak semuanya sukacita, ada peristiwa dukacita yang mungkin kita alami. Kehilangan orang yang dikasihi, kehilangan pekerjaan, menderita sakit, krisis dalam kehidupan keluarga, ataupun persoalan hidup lainnya ternyata telah mewarnai kehidupan kita. Tidak hanya itu, situasi bangsa dan negara kita yang tidak menentu juga masih menjadi sebuah pergumulan panjang yang akan dihadapi di tahun mendatang. Kasus Bank Century, persoalan yang terkait dengan KPK, tuntutan terhadap pemimpin bangsa yang baru dilantik, itupun masih menjadi permasalahan yang belum berakhir hingga akhir tahun 2009 ini.Belum lagi kalau kita mengingat tahun 2009 adalah tahun dengan bencana alam yang begitu besar. Masih terekam dalam ingatan kita bagaimana gempa, banjir, tanah longsor, hingga aksi bom telah menjadi sesuatu yang menakutkan kita. Sungguh, ada begitu banyak hal yang tidak mudah yang harus kita lalui dalam hidup ini.

Akan tetapi, sebagai umat Tuhan, kita diajak untuk memasuki tahun baru dengan keyakinan akan pertolongan Tuhan. Kita belajar untuk menyerahkan segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita kepada Dia yang akan senantiasa menyertai dan memberkati kita semua. Ini pula yang dituliskan oleh pengarang kitab Ratapan dalam Ratapan 3:21-23. Firman Tuhan menuliskan demikian: “Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap: Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!” Bila memperhatikan ayat ini, istilah kasih setia Tuhan sebenarnya berasal dari kata khesed dalam bentuk jamak konstruk dalam bahasa Ibrani. Kata ini menunjuk kepada kasih Allah yang loyal, setia dan tidak berubah (bnd. Hosea 2:18), dan kerapkali dihubungkan erat dengan perjanjian antara Tuhan dan umat-Nya. Ini semakin ditegaskan pula oleh kata “rahmat-Nya”. Rahmat berasal dari kata raham, dalam bentuk jamak dengan akhiran bahasa Ibrani. Sama seperti bahasa Indonesia, kata bahasa Ibrani ini berasal dari akar yang sama dengan kata yang berarti “rahim”. Barangkali ada isyarat bahwa kasih Tuhan sama seperti kasih seorang ibu. Apa maksud pengarang kitab Ratapan menuliskan demikian? Dengan memakai kata-kata benda dalam bentuk jamak tersebut, pengarang kitab ini bermaksud untuk menegaskan bahwa akan selalu terdapat contoh-contoh baru tentang kasih setia dan rahmat Tuhan. Penjelasan ini adalah sebuah janji yang Tuhan nyatakan kepada setiap manusia yang percaya dan berserah kepada-Nya.  

Tahun yang baru, tahun 2010 sudah di depan mata. Pergumulan demi pergumulan baru yang akan kita temui sudah terbentang pula di hadapan kita. Tidak pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi esok, lusa, bahkan waktu-waktu mendatang, namun satu yang pasti sebagai umat yang beriman kepada Tuhan, kita yakin bahwa kita dapat menyerahkan hidup seutuhnya hanya kepada Tuhan kita Yesus Kristus, yang akan senantiasa menyertai kehidupan kita sepanjang tahun yang akan datang.

Saya mengakhiri renungan ini dengan sebuah doa akan jaminan penyertaan Tuhan dalam kehidupan kita, yang dikutip dari tulisan Andar Ismail dalam bukunya Selamat Berteduh halaman 149-150, demikian:

Bapa kami dalam Tuhan Yesus,
Di depan kami terbentang sebuah jalan,
Jalan panjang menuju masa depan.
Tidak tampak ujung dan tujuan
Semua masih berbentuk pertanyaan.

Kami merasakan sebuah kekhawatiran,
Apa yang akan terjadi di tengah perjalanan?
Masa depan bisa mencemaskan,
Karena tidak ada sebuah kepastian

Sebab itu kami mencari pegangan,
Bukan dari dugaan dan ramalan,
Melainkan sebuah jaminan penyertaan
Dari Engkau, Tuhan atas masa depan
Amin





Sdri. Gloria Tesalonika S. Si (Teol)

Gampang-gampang Susah : bulan kel GKI CITRA (2009)


“GAMPANG-GAMPANG SUSAH!”

oleh Gloria Tesalonika S.Si (Teol)

Ketika diminta untuk menulis renungan yang akan dimuat dalam Paidea edisi bulan September-Oktober, yaitu edisi Bulan Keluarga, maka judul inilah yang langsung terbersit dalam pikiran penulis. GAMPANG-GAMPANG SUSAH! Mengapa demikian? Karena kalau membayangkan kehidupan sebuah keluarga, maka jawaban GAMPANG-GAMPANG SUSAH inilah yang seringkali muncul. Kalau pertanyaan seperti ini pun ditanyakan kepada kita apakah susah hidup berkeluarga atau malah sebaliknya hidup berkeluarga itu gampang? Tentu saja jawaban yang muncul akan beragam dan tergantung sudut pandang setiap kita, bukan?
GAMPANG! Kehidupan keluarga dikatakan mudah bila kondisi yang ada di dalamnya diibaratkan seperti sebuah jalan tol Cipularang: ‘lurus-lurus aja’, ‘adem-ayem’, atau disimpulkan dalam sebuah kata ‘bahagia’. Ada sebuah pengalaman menarik yang penulis temukan beberapa waktu lalu terkait dengan hal ini. Ketika itu penulis iseng berjalan-jalan ke wilayah Citra 2, karena sebagai ‘orang baru’ di Citra tentu saja penulis masih terus belajar beradaptasi dan salah satu hal yang dilakukan adalah mengenal wilayah Citra dan sekitarnya. Di tengah perjalanan di  Citra 2 itu, ternyata penulis tidak dapat menahan rasa lapar. Akhirnya, penulis memutuskan untuk mampir sejenak di KFC (Kentucky Fried Chicken). Saat penulis menunggu makanan yang dipesan itu datang, pandangan penulis tertuju pada sepasang sosok oma-opa yang sedang menikmati es krim. Bukan persoalan mereka sedang menikmati es krim yang menjadi perhatian penulis, tetapi lebih kepada relasi yang terjalin di antara keduanya. Tergambar jelas bagaimana dengan penuh kesabaran, sang oma menyuapi es krim tersebut kepada sang opa yang memang sudah tidak sanggup lagi untuk memakannya sendirian. Tidak hanya itu, ketika mulut sang opa penuh dengan lumuran es krim, sang oma yang berada di sampingnya tak segan untuk membersihkannya dengan penuh kasih.
Kisah ini tentu merupakan kisah yang sangat sederhana. Tak jarang, beberapa di antara kita pun, mungkin sudah pernah melihat dan menemukan kisah semacam ini. Namun ada sebuah refleksi yang hendak penulis paparkan di sini. Kondisi yang terjadi pada sepasang oma-opa, seperti yang saya kisahkan pada awal tadi adalah penggambaran kondisi ideal yang kita harapkan terus terjadi dalam kehidupan kita, khususnya kehidupan berkeluarga. Kondisi yang di dalamnya ada rasa care antar anggota keluarga, kasih sayang satu sama lain, serta saling mendukung (support) dalam berbagai hal. Jika kembali pada pertanyaan di awal tadi, maka kondisi seperti inilah yang akhirnya dapat membuat kita menyatakan hidup berkeluarga itu tidak begitu sulit.
Akan tetapi, yang kerapkali menjadi persoalan adalah, apa yang sesungguhnya ideal itu ternyata tidak seindah dengan apa yang ada dalam realitasnya. Tidak dapat dipungkiri, Kondisi yang terjadi dalam kehidupan berkeluarga justru adalah hal sebaliknya. Kalau secara teori kita dituntut untuk menjadi keluarga yang bahagia serta saling mengayomi satu sama lain, ternyata tidak demikian bila diperhadapkan pada realitasnya. Ada begitu banyak masalah, pergumulan, atau meminjam istilah yang lebih spesifik lagi yaitu ’krisis’, yang melanda kehidupan berkeluarga kita dalam konteks saat ini. Kalau dituliskan satu demi satu, berbagai krisis itu tentu tidak akan ada habisnya. Namun demikian, salah satu payung besar dari krisis itu dimulai pada krisis ekonomi global, yang secara tidak langsung sudah kita bawa menjadi krisis keluarga. Ini diungkapkan dengan tegas oleh Mariani Ng, approved Institute of Neuro-Semantics di Indonesia yang berafiliasi pada International Society of Neuro-Semantics, Colorado, USA, seorang yang memiliki keahlian dalam bidang Cognitive Behavioural Psychology dan Thinking Science. Betapa tidak!!! demikian ia nyatakan. Bila kita membaca surat kabar yang menuliskan tentang krisis global di Amerika, maka ini pasti mengingatkan kita tentang krisis bangsa Indonesia di tahun 1998 yang menimbulkan ‘kegentingan’ tatkala itu. Adanya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), perputaran uang menjadi ketat, pemenuhan kebutuhan yang kian hari kian sulit, ternyata sedikit banyak mempengaruhi otak dan pikiran kita. Belum lagi bila kemudian akibat dari persoalan-persoalan ekonomi global itu ternyata memberikan dampak pada krisis relasi dan komunikasi yang terjalin dalam kehidupan berkeluarga. Hubungan orangtua dan anak yang semakin terpisah oleh jurang ‘waktu dan konteks’ (penulis menyebut demikian karena memang ada ‘jurang’ yang cukup dalam yang terjadi antara orangtua dan anak. Orangtua seringkali mengalami kesulitan untuk memahami apa yang anak pikirkan dalam konteks modern saat ini); komunikasi antar pasangan yang melemah, karena masing-masing pihak ‘sibuk’ dengan urusannya sendiriyang penting aku bisa mendapat uang banyak untuk kehidupan keluargaku itu sudah cukup…, yang penting anak-anak bisa sekolah, jadi meskipun orangtua tidak ada di samping anak yah tidak apa-apa, dst… Jika pernyataan demi pernyataan seperti ini yang muncul maka kehidupan keluarga tersebut menjadi sulit, atau bila kembali melihat judul renungan ini, maka apa yang tadi disebut GAMPANG itu, mengalami pergeseran yang sebaliknya. Dewasa ini, banyak orang justru mengatakan: Ahh, SULIT hidup berkeluarga itu, banyak masalahnya, persoalannya, juga konfliknya!
Jika melihat pemaparan ini, maka kita tiba pada dualisme pemikiran yang cukup 
membingungkan dalam memandang apa dan bagaimana kehidupan sebuah keluarga. GAMPANG! Bila keluarga itu berada dalam zona aman, dan sebaliknya SUSAH! Bila keluarga itu berada dalam zona tidak aman, akibat krisis yang dialaminya. Lalu pertanyaannya adalah mana yang benar? Penulis mencoba memberikan pemikiran tentang hal ini. Memang, idealnya adalah kita mengharapkan situasi pertama inilah yang terjadi. Namun, sebenarnya situasi kedua pun dapat dilihat dengan sudut pandang baru. SUSAH itu dapat bergeser menjadi GAMPANG, bila kita memberikan paradigma baru dalam memaknainya. Paradigma yang bagaimana? Jawabannya sederhana. Paradigma yang memandang bahwa persoalan atau krisis itu menjadi sebuah proses pembelajaran bagi kehidupan keluarga. Persoalan yang kerapkali terjadi adalah kecenderungan manusia yang terus memandang bahwa permasalahan itu akan selalu menjadi hambatan bagi kehidupan mereka, baik secara pribadi maupun berkeluarga. Namun, apakah memang seperti itu? Apakah krisis, persoalan, atau permasalahan itu hanya menjadi sebuah hambatan dalam kehidupan kita? Ternyata TIDAK.
Penulis tertarik dengan apa yang dituliskan oleh Pdt. Robby Chandra dalam salah satu perenungannya yang menyatakan bahwa: ”bukan tidak mungkin sebuah keluarga dididik oleh Tuhan melalui begitu banyak persoalan atau krisis yang dihadapi”. Beliau juga menuliskan lebih lanjut bahwa bila perlu didera, disakiti agar perhatian kita tidak menjauh dari Tuhan, persoalan atau krisis itu dapat terjadi dalam kehidupan keluarga kita. Pertanyaannya adalah apa sebenarnya makna dari pernyataan ini? Artinya adalah bahwa melalui persoalan yang dihadapi dalam kehidupan keluarga kita, Ia ingin kita hidup berbeda di dalamnya. Berbeda yang bagaimana? Pertama, beda itu terlihat dari upaya kita menjaga kekudusan (artinya= menjadi keluarga yang dikhususkan bagi-Nya). Jika kata ’dikhususnya’ itu muncul, maka ini berarti bahwa keluarga kita menjadi keluarga yang berharga dan unik di mata Allah. Beda kedua adalah di dalam kita memfokuskan diri pada kasih karunia-Nya, apakah memang kita hidup dalam kebergantungan dengan-Nya, atau sebaliknya merasa bahwa kita dapat hidup dengan kemampuan diri kita sendiri. Inilah yang menjadi persoalannya. Sehingga kita tiba pada makna yang terakhir, makna yang ketiga, yaitu Ia ingin kita tidak hidup dalam kepahitan, kemarahan, kebencian, kesepian, dan semua luka-luka karena kegagalan mengenali kasih karunia-Nya melalui persoalan hidup yang kita hadapi. Kembali penulis tegaskan bahwa inilah paradigma baru yang penting, tatkala memandang ’krisis’ yang ada di depan kita.   
            Ketika penulis mencoba merefleksikan apa yang dituliskan ini, penulis sungguh menyadari bahwa krisis dan persoalan itu memang ada dan menjadi bagian dalam kehidupan setiap keluarga. Akan tetapi, ketika kita menyandarkan hidup seutuhnya kepada Tuhan, maka kita dapat memaknai bahwa krisis ini dapat menjadi sebuah proses pembelajaran bagi keluarga itu sendiri. Kita harus meyakini bahwa di dalam setiap persoalan yang kita hadapi dalam kehidupan kita baik pribadi dan keluarga, sesungguhnya Tuhan hendak ’membentuk’ kita untuk menjadi pribadi-pribadi yang senantiasa mengandalkan Tuhan dalam hidup. Penulis teringat dengan apa yang difirmankan dalam Yeremia 17:7-8 yang menyatakan:

”Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan,
 yang menaruh harapannya pada Tuhan!
Ia kan seperti pohon yang ditanam di tepi air,
yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air,
 dan yang tidak mengalami datangnya panas terik,
yang daunnya tetap hijau,
 yang tidak kuatir dalam tahun kering,
dan yang tidak berhenti menghasilkan buah”.

Nabi Yeremia dalam Firman Tuhan ini mencoba mengibaratkan hidup manusia sebagai sebuah pohon. Seperti kita ketahui, pohon membutuhkan air untuk kehidupannya. Pohon akan bisa bertumbuh dengan subur kalau cukup makanan dan air. Pohon yang ditanam di tepi air akan merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, sehingga kendati musim panas, pohon ini akan tetap segar dan daunnya tetap hijau, tumbuh dengan subur dan terus berbuah. Demikianlah orang yang mengandalkan Tuhan dan menaruh harapan kepada Tuhan  dalam kehidupannya. Ia tidak akan pernah mengalami kekhawatiran dalam hidupnya.  Meskipun ada begitu banyak tantangan dan pergumulan yang harus dihadapi, entahkah dalam kehidupan pribadi, atau juga kehidupan keluarganya, ia tetap mampu melalui itu semua karena senantiasa memiliki pegangan dalam hidup, yaitu Tuhan yang senantiasa mengasihi dan menilik kehidupan yang dilaluinya.   
Apa yang penulis paparkan ini pula yang kemudian melatarbelakangi munculnya tema ’Krisis sebagai Proses Pembelajaran Keluarga Bijaksana’ dalam Bulan Keluarga nanti (info lebih lanjut akan diuraikan dalam info Bulan Keluarga pada Paidea edisi ini). Kiranya perenungan ini dapat menjadi sebuah ’pintu masuk’ bagi kita untuk melihat dan menggumuli hidup kita dan keluarga. Tuhan Memberkati.

Khotbah ekspositoris - Yoh 3:16

KHOTBAH EKSPOSITORIS
(Yohanes 3:1-18)

Ada sebuah ungkapan atau mungkin dapat disebut dengan slogan, yang berbunyi demikian: “No Salvation Outside The Church”.  Secara harfiah, slogan ini berarti bahwa tidak ada keselamatan di luar gereja.  Wow...ini sepertinya menjadi sebuah slogan yang dapat dikatakan cukup keras, atau dalam bahasa teologisnya “eksklusif”, bukan?

Pertanyaannya adalah apakah memang demikian yang terjadi?  Apakah memang keselamatan hanya ada di dalam gereja?  Saudara-saudara......tentu saja, sebagai seorang Kristen kita meyakini dengan iman kita bahwa keselamatan ada dalam diri dan pribadi Yesus Kristus, Juruselamat kita.  Namun, hal penting lain yang juga tidak dapat dikesampingkan begitu saja adalah kita pun pada dasarnya diajak untuk terus menghargai pemahaman yang dianut oleh keyakinan atau agama lain tentang keselamatan dalam kepercayaan mereka masing-masing.

Saudara-saudara.... jikalau kita hendak berbicara tentang keselamatan, memang ini menjadi sebuah hal penting dan juga menarik untuk sama-sama kita perhatikan dan gumuli dalam hidup kita. 

Demikian pula pembacaan Firman Tuhan pada hari ini.  Secara keseluruhan apa yang dituliskan dalam Yohanes 3:1-18 pada kenyataannya hendak berbicara tentang sebuah persoalan penting yang dipercakapkan antara Nikodemus dan Yesus, yaitu tentang keselamatan.

Nikodemus.  Alkitab menyebutkan bahwa ia adalah seorang Farisi, seorang pemimpin agama Yahudi yang tentu saja sangat berpegang pada hukum Taurat.  Kendati demikian, Nikodemus ternyata merupakan seseorang yang mengagumi Yesus, terutama karena mujizat-mujizat yang dilakukan oleh-Nya (ayat 1-2). 

Melanjutkan apa yang dipercakapkan antara Nikodemus dan Yesus dalam kaitannya dengan hal keselamatan, sebagai seorang Farisi, Nikodemus meyakini bahwa manusia dapat selamat karena satu hal yaitu melaksanakan hukum Taurat.  Pemahaman dan pola pikir ini jelas sangat berbeda dengan apa yang ditegaskan oleh Yesus.  Ayat 3 dalam Firman Tuhan hari ini menuliskan:
Yesus menjawab, kata-Nya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah."
Ini berarti bahwa hal terpenting untuk seseorang agar dapat meraih keselamatan itu (Kerajaan Allah) adalah dengan sebuah peristiwa yang Yesus sebut dengan kelahiran kembali.

Lalu pertanyaan yang muncul adalah apa dan bagaimana peristiwa yang disebut dengan “kelahiran kembali” tersebut?
Saudara-saudara....ungkapan dilahirkan kembali yang dimaksud dalam hal ini berasal dari istilah Yunani anothen yang memiliki 3 arti utama, yaitu:
v  Kembali ke keadaan semula atau keadaan awal, sehingga ada pembaharuan radikal.
v  Sesuatu yang terjadi lagi atau terjadi kedua kalinya
v  Sesuatu yang terjadi “dari atas”

Ketiganya akan saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
Makna pertama dan kedua berarti terjadi sebuah perubahan dalam hidup seseorang, dan ini semua dapat dilakukan dengan baik karena makna yang ketiga yang berarti bahwa peristiwa dilahirkan kembali terjadi karena merupakan hasil kerja Roh Kudus.  Semuanya berasal dari Allah sendiri (dari atas), bukan dari manusia.  Inilah hal penting yang menjadi penekanan utama penjelasan Yesus kepada Nikodemus. 

Tidak berhenti hingga di sini, ayat ke-9 pun segera melanjutkan apa yang dijelaskan oleh Yesus.  Dalam ayat ini, Nikodemus kembali menanyakan bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi?  Ketika menanyakan hal ini, tentulah Nikodemus berkata jujur (pemikiran manusia biasa atau alami). 

Apa yang dilakukan Yesus? Yesus segera menanggapi pertanyaan Nikodemus ini dengan menyatakan bahwa hal itu sangat dimungkinkan terjadi.  Yesus menggunakan kisah dalam Bilangan 21:9, yaitu tentang peristiwa yang dialami oleh Bangsa Israel ketika mereka bersungut-sungut terhadap Allah karena apa yang mereka alami, sebagai usaha untuk menjelaskan pertanyaan Nikodemus.  Saat itu Allah mengirimkan ular-ular berbisa di tengah-tengah mereka, dan ular itu menggigit mereka.  Akibatnya, ada sebagian di antara mereka yang  mati karena ular berbisa itu, sementara sebagian yang lain menderita parah karena gigitan ular itu. 

Selanjutnya, Musa menaikkan ular tembaga itu di atas tiang, dan bagi setiap orang yang dipagut ular dan memandang kepada ular tembaga itu tidak akan mati.  Apa yang terjadi saat itu? Bangsa Israel pun mengakui dosa dan pelanggaran mereka dan mereka memandang ular tembaga tersebut.  Pemaparan kisah yang dialami oleh Bangsa Israel ini menjadi sebuah penjelasan bagaimana hal itu dapat terjadi karena iman percaya mereka kepada Allah.  Karena iman, mereka akhirnya beroleh keselamatan itu.    

Menarik saudara, bahwa melalui penggambaran ini Yesus kemudian melanjutkan jawabannya itu dengan menekankan bahwa keselamatan yang terjadi pada setiap manusia pun hanya terjadi bila manusia memiliki iman percaya kepada Allah.  Allah mengasihi manusia, sehingga Ia memberikan Anak-Nya yang Tunggal, wafat di kayu salib, agar setiap orang tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16).  Ini semua dapat terjadi bila manusia memiliki keteguhan iman tersebut kepada Allah. 

Saudara-saudara terkasih dalam Tuhan kita Yesus Kristus..........................................
Setelah kita mengetahui secara mendalam apa yang ada dalam Firman Tuhan ini, maka pertanyaannya adalah: lalu apa pesan Firman Tuhan kepada kita?
Sekurang-kurangnya saya mencatat beberapa hal penting sehubungan dengan hal ini:

1.      Keselamatan yang ada dan terjadi dalam hidup kita adalah anugerah Allah semata.  Ini tentu sangat relevan dengan semboyan para tokoh reformator (Martin Luther, dkk) yang berbunyi: Sola Gratia.  Keselamatan itu bukanlah diperoleh melalui usaha kita manusia, namun sekali lagi saya tegaskan bahwa ini adalah karunia dari Allah.

2.      Berkaitan dengan point yang pertama, anugerah itu tentu menuntut adanya respons atau tindakan kita secara pribadi.  Anugerah keselamatan itu akan dapat bekerja dalam hidup kita tatkala kita menyatakan kesediaan kita untuk menyambutnya.

3.      Hal terakhir yang juga penting dan merupakan kelanjutan point yang kedua adalah respons atau tindakan itu akan berarti, bila kita menyambutnya dengan iman percaya kita kepada-Nya.  Beriman itulah yang akan memampukan kita untuk mengalami sebuah pembaharuan hidup (atau kalau meminjam apa yang dituliskan oleh Firman Tuhan hari ini disebutkan “peristiwa kelahiran kembali”), hidup yang dibaharui terus-menerus.  Ini semua akan terjadi dengan adanya bimbingan Roh Kudus.  Roh Kudus inilah yang akan menuntun dan membimbing kita untuk melakukan Firman Tuhan dalam hidup kita setiap hari.

Pergumulannya adalah:
Apakah kita meyakini itu saudara?
Apakah kita bersedia untuk mengalami pembaharuan hidup itu dalam kehidupan yang kita jalani...?
Tentu, hanya diri kita secara pribadi yang mampu untuk menjawabnya...

Tuhan Yesus Memberkati kita sekalian
AMIN