Khotbah Kebaktian
Minggu PORIS
Minggu 17
Agustus 2014
“Dipanggil
untuk Memerdekakan”
Bacaan
1 : Kejadian 45:1-15
Antar
Bacaan : Mzm 133
Bacaan
2 : Roma 11:1-2, 29-32
Bacaan Injil : Matius 15:21-28 (diakhiri :
HALELUYA)
K.H.O.T.B.A.H
Siapa yang tak kenal Robin William?
Seorang tokoh pelawak yang sangat terkenal di dunia termasuk Indonesia.
Film-filmnya digemari semua kalangan usia.
Ada lebih dari 20 film (informasi
Google) yang saya dapatkan. Beberapa yang terkenal :
-
Patch
Adam (sebuah film yang terinspirasi dari sebuah
kisah nyata Dr. Hunter Patch Adam, William berperan sebagai dokter yang
memberikan keceriaan kepada penderita kanker, jadi badut, supaya bisa menghibur mereka)
-
Mrs.
Doubtfire (Williams menyaru
sebagai pembantu rumah tangga Euphegenia Doubtfire demi dekat dengan
anak-anaknya.),”
-
“Jumanji”, sebuah Film yang
bercerita tentang sebuah permainan ajaib yang didalamnya terdapat
binatang-binatang, dan binatang-binatang itu akan keluar jika tertera pada
papan.
-
“Good
will hunting”,
kisah Will Hunting, seorang "prodigy" bermasalah
yang bekerja sebagai "janitor" di sebuah
institute teknologi di Massachusetts meskipun pengetahuannya dalam matematikan
lebih superior dibanding dengan seluruh orang lain di fakultas tersebut.
-
'Dead Poets Society' (1989)
-
hingga
menjadi dubber- di film kartun seperti happy feet, 'Aladdin' = mengisi
suara Genie
Tokoh Robin William begitu melekat
dalam bayangan kita, dengan karya yang ditampilkan melalui film-film bahkan
beberapa di antaranya menginspirasi kita. Saya kalau nonton film Patch Adam dan
Mrs. Doubtfire ngga pernah bosan..karna maknanya luar biasa, bagus sekali..
bicara tentang keluarga, bicara tentang kasih dan kepedulian kepada mereka yang
membutuhkan perhatian. Sebuah film memang punya sejuta makna. Makanya acara
bedah film sangat menarik dan membawa pembelajaran bagi kita.
Namun beberapa waktu lalu (selasa)
kita dikejutkan dengan sebuah pemberitaan yang menyebutkan bahwa actor yang
suka melawak dan menghibur itu ditemukan meninggal dunia, tewas, bahkan yang
ironis adalah ia tewas dalam keadaan yang sangat mengenaskan.
Di
berita Tempo dikisahkan secara detail bagaimana kronologis ditemukannya Robin
William.
Senin,
11 Agustus 2014, sekitar pukul 11.55, Pusat Komunikasi Sub-Distrik Marin
menerima panggilan telepon 911 yang melaporkan seorang pria dewasa ditemukan
tak sadarkan diri dan tidak bernapas di kediamannya yang terletak di 95 St
Thomas Way, Tiburon, California. Penelepon itu terdengar kebingungan di telepon.
Pukul
12.00, personel kepolisian dan petugas pemadam kebakaran Tiburon tiba di tempat
kejadian. Personel kepolisian yang pertama dipanggil ke rumah Robin Williams
menemukan aktor peraih Oscar itu tak bernyawa dengan sabuk melilit lehernya dan
luka dangkal pada pergelangan tangannya.
Letnan
Keith Boyd mengatakan Williams ditemukan "dalam posisi duduk dalam kondisi
tidak responsif dengan sabuk membelit lehernya dengan ujung terjepit di antara
pintu lemari pakaian dan kusen pintu." Saat itu, katanya, tubuh Williams
telah dingin. Ia mengatakan bagian dalam pergelangan tangan kiri Williams
terdapat tanda-tanda dipotong.
Dari
penyidikan dan dugaan yang ada, Robin William diduga bunuh diri.Apa penyebab bunuh diri itu, memang belum diketahui secara jelas. Namun juru bicara Williams, angkat bicara mengenai penyebab kematian sang aktor. Menurutnya, pemeran Peterpan dalam film Hook itu mengalami depresi berat akhir-akhir ini. "Ia bertarung melawan depresi parah akhir-akhir ini. Bahkan kalau baca di berita : dituliskan William sampai kecanduan alkohol, menjadi peminum, bisa jadi itu terangkai dalam depresi yang dialaminya.
Ini menjadi sebuah yang sungguh paradoks. Bagaimana tidak ? Seorang pelawak yang memberikan keceriaan, yang membuat orang terbahak-bahak, yang menghibur mereka yang mendengar, ternyata terbelenggu oleh perasaan kosong dalam hatinya… Ia menampilkan wajah gembira namun ternyata belenggu yang dialami adalah rasa sepi, sedih, galau, kosong yang mengisi ruang hatinya.
Mungkin banyak orang berpikir dia bahagia. Namun ternyata kebahagiaan tidak diukur demikian. sehari setelah dengar pemberitaan tentang Robin Williams saya dapat whats app dari temen saya yang isinya menarik :
Jika kekayaan bisa membuat orang
bahagia, tentunya Adolf Merckle, orang terkaya dari Jerman, tidak akan
menabrakkan badannya ke kereta api.
Jika ketenaran bisa membuat orang
bahagia, tentunya Michael Jackson, penyanyi terkenal dari USA, tidak akan
meminum obat tidur hingga overdosis.
Jika kekuasaan bisa membuat orang
bahagia, tentunya G. Vargas, presiden Brazil, tidak akan menembak jantungnya.
Jika kecantikan bisa membuat orang
bahagia, tentunya Marilyn Monroe, artis cantik dari USA, tidak akan meminum
alkohol dan obat depresi hingga mati overdosis.
Jika kesehatan bisa membuat orang
bahagia, tentunya Thierry Costa, dokter terkenal dari Perancis, tidak akan
bunuh diri, akibat sebuah acara di televisi.
Ternyata, bahagia atau tidaknya
hidup seseorang itu, bukan ditentukan oleh seberapa kayanya, tenarnya, cantiknya,
kuasanya, sehatnya atau sesukses apapun hidupnya.
Tapi yang bisa membuat seseorang itu
bahagia adalah dirinya sendiri... Mampukah ia mau mensyukuri semua yang sudah
dimilikinya dalam segala hal.
Kisah Robin
William dan mungkin beberapa tokoh yang dalam hidupnya terkenal mulai dari
public figure, sampai tokoh politik yang mengalami pergumulannya masing-masing mengajak
kita merenung, mengajak kita berefleksi…. bahwa hidup dalam belenggu tidaklah menyenangkan. Hidup dalam belenggu apalagi belenggu masa lalu dan kita tahu bahwa masa lalu itu sangat sulit bahkan sudah menorehkan luka dalam hidup kita, belenggu kepahitan, belenggu kesedihan, bahkan juga kekosongan hidup dapat memberikan dampak yang negatif bahkan bukan tidak mungkin bisa membuat kita melakukan tindakan yang tidak semestinya kita lakukan. Oleh karena itu penting bagi kita untuk bisa terbebas dari belenggu itu, dan berupaya untuk memberikan makna dari setiap peristiwa yang kita alami dalam hidup ini.
Bacaan I hari ini mengisahkan jelas bagaimana Yusuf tidak terbelenggu pada masa lalu yang berat yang pernah dihadapinya. Kalau kita mengingat kisah Yusuf kita tahu benar bagaimana perlakuan saudara-saudara Yusuf kepadanya. Minggu lalu kita telah kupas dalam bahasan tentang iri hati yang memadamkan cinta. Bagaimana saudara-saudara Yusuf iri atas perlakuan sang ayah (Yakub) kepada Yusuf. Dan kita melihat dalam FT bagaimana iri hati bisa menimbulkan, memunculkan tindakan keji, kejahatan yang dilakukan kakak-kakak Yusuf.
Menyimak perlakuan saudara Yusuf kepadanya, bisa saja Yusuf menjadi pribadi yang mendendam dan berbalik benci kepada mereka. Bahkan kalau lihat bacaan I kita sebenarnya Yusuf berada “di atas angin”, wong dia sudah jadi penguasa di Mesir… dengan mudah sebenarnya ia dapat melampiaskan dendam dan kebencian terhadap saudara-saudaranya itu.
Namun amat menakjubkan, Yusuf tidak melakukannya. Ia tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh kebencian dan dendam. Ada sudut pandang lain yang dipilih Yusuf ketika berhadapan dengan saudara-saudara yang telah melukainya.
Sudut pandang yang bagaimana yang dipilih oleh Yusuf :
1.
Yusuf
Belajar berdamai dengan masa lalu.
Tampak
dalam bacaan kita ketika ia mau memperkenalkan diri kepada saudara-saudaranya. “Akulah
Yusuf…” ay. 3 marilah dekat-dekat dengan aku… diulang lagi Akulah Yusuf
saudaramu yang kamu jual ke Mesir…ay. 4
Perdamaian
yang Yusuf lakukan adalah ketika ia memperkenalkan dirinya, dan menerima (acceptance)
saudara-saudara yang datang kepadanya. Ia memaafkan bahkan mengampuni mereka
yang telah menorehkan belenggu luka itu kepadanya.
Kalau
dihub dengan tema Minggu ini, Yusuf berada dalam kondisi merdeka. Merdeka
ketika ia berhasil menjaga hatinya *jagalah hati jangan kau nodai* : menjaga
dari apa? dari niatan tidak baik seperti dendam dan kebencian dan sebaliknya membiarkan
diri disentuh oleh cinta kasih, yang membuahkan hal yang baik baginya dalam hal
ini mengampuni.
Siapa
diantara kita yang pernah mengalami apa yang Yusuf alami? Bisa jadi kita pernah
mengalami situasi yang tidak menyenangkan. Ada orang, bisa jadi teman sendiri..
sahabat kita sendiri bahkan keluarga kita sendiri yang ‘mengecewakan, melukai’
hati kita. Dalam kondisi demikian apa yang kita lakukan ?Kita kerap terbelenggu
pada perasaan Sangat sulit untuk memaafkan apalagi mengampuni
Biasa
: apa alasan kita susah mengampuni?
- Kesalahannya
: fokus kita. Selalu melihat pada luka yang
orang lain buat! "Hatiku sudah terlanjur
sakit. Mengampuni? Kok
enak, dia sudah berbuat jahat dan menyakiti aku." Parahnya : kalau kemudian kita ngomong harusnya aku bales lagi. Kalau inget cerita silat, tema yang
diusung khan balas dendam. Zaman GT : Return of the Condor Heroes, To Liong To…
Kisah kwee ceng, thio bu kie…. Kalau dia pukul saya sekali, saya bisa balas dua
kali.
Memaknai secara harfiah FT “mata ganti
mata, gigi ganti gigi…. ’ Mahatma Gandi : “jika konsep
mata ganti mata berlaku di seluruh dunia maka seluruh dunia akan buta.” Sebuah dendam adalah hal yang membuat kita
sakit hati, bahkan kita bisa berpikir terus menerus (mikirin terus-menerus dendam itu).
Atau mungkin kadang ada orang yang berkata, “Saya ini orangnya baik.
Kalau ada orang yang baik sama saya saya akan baik. Tapi awas kalau ada yang
cari gara-gara sama saya, saya balas dua kali lipat.” Pertanyaan kritisnya: Apa
betul dia orang baik?? – seperti yang dia omong di awal ?
-
Provokasi orang sekitar.
Udah dia emang begitu…
manas-manasin…padahal orang itu ternyata lagi punya masalah pribadi juga dengan
orang yang berkonflik dengan kita. Merasa ada teman, merasa ada dukungan,
akhirnya kita diprovokasi. Saya suka prihatin kalau kejadian kaya gini. Bukan
tidak mungkin ini pun terjadi dalam lingkup pelayanan kita. Sedih, kalau kemudian ada
kelompok-kelompok tertentu, blok-blok tertentu yang saling memprovokasi ketika
sebuah masalah terjadi. Padahal : kita harusnya mengupayakan kondisi damai
sejahtera(syalom)dalam lingkungan dimana kita berada.
- Salah kaprah tentang pengampunan
: dikatakan bahwa mengampuni terjadi secara total dan sekaligus. Kalau ingat
apa yang dikatakan oleh Yesus dalam Mat 18:22 “mengampuni dilakukan 70X7X. ini
bukan sekedar hitungan matematis namun hendak mengatakan bahwa pengampunan itu
dilakukan tanpa batas. Pengajaran Yesus juga mau menunjukkan bahwa tindakan
pengampunan perlu proses panjang, tidak terjadi seketika.. Ada proses pemulihan
dlsb. . Cerita Pa Setyo
: mengampuni seperti orang naik sepeda, jatuh bangun… namun belajar supaya
tidak jatuh bangun lagi. Tapi lurus mengendarai sepedanya!
-
Saya
mengutip Pdt. Eka Darmaputera dalam tulisannya. Kenapa mengampuni itu sulit? Orang
sering merancukan antara ‘mengampuni’ dan ‘melupakan’. ‘To
forgive’ dan ‘to forget’. Ada yang tegas mengatakan tidak bisa dan
tidak akan mengampuni orang itu. “Pokoknya, saya tidak bisa dan
tidak akan melupakan perbuatannya yang keji itu!” Bila benar alasannya
demikian, kita dapat memahami bagaimana mungkin bisa melupakan penghinaan,
penganiayaan, penindasan, pengkhianatan yang pernah dialami. Mengingat bukan tidak boleh, bahkan
perlu untuk proses pemulihan.
-
John Paulu Lederach (tokoh peace
building AS)
mengatakan bahwa proses mengingat itu sangat penting
bagi orang2 yang sedang mengusahakan perdamaian. Para korban diajak
untuk mengingat bahkan menceritakan kembali pengalaman pahit mereka dg maksud :
A) pembelajaran bagi banyak orang agar peristiwa sejenis tidak terulang lagi;
dan B) bagi korban proses bercerita itu merupakan langkah pemulihan diri,
pengobatan luka batin. Sebab, jika itu tidak diceritakan… tersimpan terus dalam
hati (menjadi luka batin), terekam terus dalam memori malah menyiksa dan
menghambat terjadinya rekonsiliasi. Malah : bisa jadi dendam. Tetapi ketika para
korban bercerita mereka dapat ditolong para terapis untuk mengobati luka
batinnya dan itu adalah langkah rekonsiliasi.
Yusuf tentu mengingat perlakuan
saudara/kakak-kakaknya kepadanya. Namun tokh ia belajar dan berproses keluar
dari belenggu masa lalu yaitu kebencian dan dendam yang sebenarnya bisa
membuatnya membalas perlakuan kakak-kakaknya. Sebaliknya ia belajar berdamai
dengan masa lalu dan menatap masa depan dengan keyakinan bahwa Tuhan
menolongnya.
2.
Yusuf
melihat dari sudut pandang Allah yang memiliki rencana dalam hidupnya
Hal
kedua yang bisa kita lihat adalah setelah memperkenalkan diri kepada
saudara-saudaranya, Yusuf juga memperkenalkan pemahamannya mengenai kehendak
Allah dalam peristiwa yang dialaminya.
Ay
7 menuliskannya “Allah telah menyuruh aku mendahului kamu untuk menjamin
kelanjutan keturunanmu di bumi dan memelihara hidupmu…” ay. 8 “bukan kamu yang
menyuruh aku kesini, tetapi Allah… dan ay 9. “Allah telah menempatkan aku
sebagai tuan atas seluruh Mesir”…
Kita
menyaksikan dg jelas bagaimana Yusuf dapat memiliki keteguhan iman bahwa Allah
punya rancangan yang indah padanya. Ketika flash back, saat ia mengalami
perlakuan yang tidak menyenangkan dari saudara-saudaranya… Hingga pada akhirnya
ditempatkan di Mesir… Yusuf melihat dalam perspektif ilahi bahwa ada maksud
Allah dalam perjalanan hidup yang harus dilaluinya. Dan ia meyakini bahwa apa
yang Allah rancangkan selalu baik adanya.
Pengalaman
Yusuf mestinya menjadi peneguhan bagi kita bahwa perjalanan hidup kita sepenuhnya
ada dalam rancangan Allah. Tadi dalam Berita Anugerah Kitab Yeremia menyatakan
jelas “rancangan Allah adalah rancangan yang mendatangkan damai sejahtera,
bukan rancangan kecelakaan. Untuk apa? Untuk memberikan hari depan yang penuh
dg harapan.
Mungkin
kita harus mengalami jatuh bangun dalam hidup ini, kalau lihat Yusuf dia
dibenci, ngga disukai, dibuang, dijual, -sangat memprihatinkan… namun ketika
berhasil melaluinya, disitulah kita menyaksikan bahwa Tuhan terus menyertai,
dan ada maksud Tuhan yang baik bagi kita dari peristiwa yang kita alami
tersebut.
3.
Pembebasan/‘kemerdekaan’
yang Yusuf alami : memampukannya untuk juga memerdekakan orang lain, dalam hal
ini saudara-saudaranya.
Hal ketiga kita belajar, bahwa sudut
pandang positif yang kita bisa lihat melalui perjalanan hidup Yusuf adalah
kerinduannya untuk terus menjadi berkat bagi sanak saudaranya. “Kemerdekaannya”
dari belenggu masa lalu…. memampukan Yusuf untuk menolong saudara-saudaranya.
Apa yang dilakukan Yusuf :
*Ia berupaya sedapat mungkin menolong
saudara-saudaranya yang berada dalam ketakutan yang membuat mereka “bersusah
hati” dan “menyesali diri”. Kasih yang dinyatakan oleh Yusuf inilah yang
sanggup “memerdekakan” orang lain yang berada di bawah tekanan rasa bersalah.
*Ayat 9-15 : Yusuf mengkonkretkan
pertolongan yang dapat dilakukan. Yaitu meminta agar saudara-saudaranya
menjemput bapanya dan datang kembali ke Mesir untuk menetap di tanah Gosyen:
supaya mereka tidak menderita lagi karena kelaparan.
Kemerdekaan yang sama juga dialami oleh seorang perempuan Kanaan dalam teks Injil yang kita baca. Ia merdeka dari belenggu penderitaan yang selama ini dialami olehnya juga anaknya. Perempuan ini dipandang kafir, karena ia adalah perempuan kanaan, yang dalam Injil Markus ditulis Siro Fenesia. Tirus dan Sidon memang merupakan area/wilayah orang Fenesia. Area di luar Yahudi. Pandangan orang terhadapnya bisa jadi negative. Karena dipandang berbeda.
Penderitaan itu bertambah ketika anak perempuannya kerasukan setan. Perempuan ini mengikuti Yesus dan berseru meminta tolong, namun yang terjadi justru ia diusir oleh para murid yang merasa terganggu dengan kehadirannya.
Dalam keterpurukannya itulah, Yesus hadir dan memulai percakapan/berdialog dengan perempuan Kanaan ini. Disinilah saya menemukan ada 2 point yang menarik yang bisa kita renungkan bersama.
Pada point pertama kita melihat dari sisi Yesus. Bagaimana Yesus menembus batas dinding-dinding pemisah yang umum di masyarakat Yahudi kala itu. Ketika banyak orang memandang perempuan itu dengan kafir/non Yahudi, negative, namun Yesus tetap mendengar permohonannya (bnd. Ay 23. Tidak menjawab – beda dengan reaksi para murid).
Seringkali masalah yang muncul dalam hidup bersama *apalagi kita sebagai Negara yang penuh dengan kepelbagaian* adalah kita tidak mau berdialog dengan orang lain yang ‘berbeda’ dengan kita. Kita kerap membuat batas-batas/sekat diantara kita dengan sesama. Lebih parah adalah ketika kita menjudge ‘menghakimi’ orang lain yang berbeda dengan kita. Kalau ini yang terjadi sulit bagi kita menciptakan kerukunan.. padahal panggilan kita *Mzm 133* adalah menghadirkan kerukunan itu dalam komunitas dimana kita berada. Belajar dari Yesus : ia membuka dialog, Ia melakukan karya melampaui dinding-dinding pemisah itu.
Point kedua yang juga menarik dan menjadi pembelajaran bagi kita adalah IMAN perempuan Kanaan yang datang kepada Yesus. Perempuan ini memulai percakapan dengan memanggil Yesus sebagai Tuhan, Anak Daud. Terlihat bahwa perempuan ini memandang Yesus penuh dengan kuasa.
Ketika Yesus menjawab “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” Perempuan itu menjawab “Benar Tuhan namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya.
Anjing : binatang yang najis yang biasanya mencari makanan dengan mengais sampah di jalan dan seringkali mengidap penyakit. Orang Yahudi berbicara dng sombong tentang “anjing-anjing non Yahudi”. Kata yang digunakan disini “kunaria” bukan anjing jalanan, namun anjing peliharaan di rumah.
Perempuan Kanaan itu tidak segera sakit hati atas gambaran yang melekat kepadanya. Sebaliknya, ia membayangkan adanya kesempatan yang masih bisa diperoleh yaitu mencicipi roti tuannya yang jatuh di bawah meja.
Ia gigih memperjuangkan kasih terhadap anaknya. Dan ia datang kepada Yesus yang diyakini akan memberi anugerah itu dalam hidupnya. Disinilah Yesus melihat iman perempuan Kanaan ini. Yesus berkata “Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang engkau kehendaki”. Perempuan Kanaan itu menyatakan kasihnya dengan begitu gigih dan berani di hadapan Yesus. Sikap ini lahir dari pengharapan iman akan kuasa Yesus. Dan amat indah Yesus menyampaikan sebuah apresiasi yang luar biasa “Hai Ibu besar imanmu” Jadilah kepadamu seperti apa yang kaukehendaki. Terjadi pemulihan. Terjadi pembebasan pada perempuan kanaan dan anaknya dari belenggu penderitaan yang selama ini ada padanya.
Penutup :
Hari ini adalah hari yang sungguh amat istimewa. Karena hari ini tepat 17 Agustus, peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-69. *jarang/langka 17 Ags 45 bertepatan dengan ibadah minggu. Dalam ibadah ini juga ada upacara bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Kita bersyukur bahwa kita bisa meraih kemerdekaan, terbebas/merdeka dari belenggu penjajah. Kita tidak merasakan bagaimana kerja paksa*zaman dulu… bagaimana perjuangan para pahlawan yang hidup pada tahun 1900an… bagaimana bamboo runcing menjadi senjata melawan penjajah… Kita hanya bisa membayangkan penjajahan Belanda dan Jepang melalui buku sejarah dan berita yang menayangkannya.
Betul bahwa
kita sudah merdeka dari belenggu penjajah. Namun dalam perjalanan kehidupan
kita, bangsa dan Negara saat ini, ternyata kita belum sepenuhnya “merdeka”. Ada
belenggu penjajah yang lain yang masih dijumpai saat ini. Belenggu itu bisa
berupa kebencian, luka, dendam, kekecewaan yang mungkin masih kita rasakan saat
ini (kisah Yusuf), atau belenggu itu adalah belenggu penderitaan, perasaan
ditinggalkan, dibedakan bahkan juga dikucilkan (kisah perempuan kanaan).
Sungguh ironis, belenggu-belenggu kehidupan yang membatasi terjadinya kasih,
kebenaran, keadilan dalam kehidupan bermasyarakat masih kita temui dalam
kehidupan negara dimana kita tinggal menetap. Bisa jadi itu kita alami secara
pribadi, atau juga dialami oleh sesame yang hidup berdampingan dengan kita.
Oleh
karenanya melalui FT hari ini, dalam rangkaian hari kemerdekaan RI kita
dipanggil untuk melepaskan belenggu-belenggu itu dalam kehidupan bersama di
tengah komunitas bangsa dan Negara, dan tidak hanya itu, kita pun siap untuk
memerdekakan, berbuat sesuatu agar orang lain juga merdeka. Tidak mudah memang,
namun bukan tidak mungkin.
Selamat
memaknai kemerdekaan dalam hidup kita semua.
Tuhan
memberkati.