Kamis, 31 Juli 2014

“Merawat Anak-anak, Membangun Masa Depan”



Renungan Persekutuan Staff WVI (World Vision Indonesia)
Rabu, 30 Juli 2014
“Merawat Anak-anak, Membangun Masa Depan”
(Mzm 127:4) baca Mzm 127:1-5

Pembukaan :
Pdt. Andar Ismail dalam bukunya ‘Selamat Panjang Umur’ pernah menuliskan sebuah paparan yang menarik. Dikatakan bahwa di dunia konon ada 2 kebudayaan besar yang muncul.

  1. Kebudayaan Yunani-Romawi = barat
  2. Kebudayaan Cina = timur

Dalam banyak hal, keduanya ternyata punya perbedaan!
Salah satu yang sering disorot = dari seni pahat dan seni lukisnya.
Kebudayaan Yunani-Romawi = menyukai patung/lukisan yang gambarnya orang muda bertubuh tegap kekar, BEROTOT ‘kaya Ade Rai’, sterek…Six pack… *gambaran ganteng menurut salah satu remaja yang pernah saya layani*

Sebaliknya, kebudayaan Cina = menampilkan pria usia lanjut yang bongkok, kepala botak (bukan nyindir), dan janggut panjang warna putih.

Kenapa berbeda? Karena kebudayaan Yunani-Romawi “MENGAGUNGKAN MASA MUDA SESEORANG”,
Bagi orang pandangan pertama ini, orang muda = segala-galanya! Hebat. Kemudian berpengaruh juga hingga pemikiran saat ini – orang muda kreatif, cakap memimpin “Kartini – 21 tahun ketika mengembangkan gagasan/ide didirikannya sekolah perempuan. Soekarno = 27 th ketika mendirikan PNI. Jokowi, kandidat Presiden – dibnd. JK lebih muda. Diuraikan!

Berbeda dng itu, pada budaya yang kedua (budaya Cina) “MENGAGUNGKAN MASA TUA SESEORANG”. Kita lihat di budaya Cina = menghormati orangtua = jangan jadi anak yang pu hao, tapi U hao.
Sopan/santun pada orangtua – itu ajaran yang ditanamkan.
Berbahasa – manggil om, tante – ada akuh, jikuh, iih, ooh, itnyoh, dlsb

Bahkan uniknya = dalam salah satu tulisan = Kebudayaan Cinta menjunjung umur panjang sebagai ukuran kebahagiaan, lambang = POHON PINUS (sejenis cemara yang tinggi dg daun seperti jarum dan tetap hijau/ever green sekalipun diselimuti sallju).  Di Indonesia pohon sejenis ini hanya tumbuh di lereng gunung yang tinggi.  Apa yang menarik ? umur pohon pinus dapat mencapai 400 th. Bisa dibayangkan begitu TUAnya usia pohon ini! Oleh karenanya, sebagai lambang umur panjang, pohon pinus sering muncul dalam lukisan Cina.

Menarik = Gandrungnya masyarakat Cina akan umur panjang tercatat dalam sejarah. Kaisar Qin Shi Huangdi yang memerintah tahun 221-207 SM membentuk tim dokter yang meneliti dampak kimiawi pelbagai mineral yang dapat memperpanjang usia manusia. Tidak hanya itu, pelbagai tanaman dan ramuan juga diteliti khasiatnya. Juga berbagai jenis senam dan berbagai jurus yang menyelaraskan keseimbangan tubuh. Bahkan meditasi juga dilihat sebagai upaya memperpanjang umur, dimana orang belajar bngun pagi buta, berpikir positif, mencari keheningan, berdamai dg diri sendiri, orang lain dan juga alam, menjauhkan diri dari makanan yang berlebihan dan kesenangan duniawi.

Cerita GT Bina Kader di wihara – makan dalam keheningan, sore Cuma dikasih arem-arem, meditasi sampai ada bunyi… J

Balik lagi : itu kebudayaan yang berkembang.
Ada yang mengagungkan masa muda/budaya romawi dan Yunani. Sebaliknya budaya cina mengagungkan masa tua, bahkan beberapa penelitian tadi sudah disampaikan.

Pertanyaan yang kemudian muncul lalu mana yang mestinya diutamakan? masa tuakah? Atau masa mudakah? Kalau saya Tanya ke Bp/Ibu yang mana yang kita utamakan? –diskusi-

Tentu saja keduanya memberikan peran yang sama pentingnya. Kalau kita kembali kepada Alkitab (back to Bible) maka dituliskan jelas bahwa baik masa muda maupun tua punya perannya masing-masing. Ada ciri dan keunikannya masing-masing.

Masa muda: ditulis di Pengkhotbah 11:9 dipandang – kegembiraan,dan Tuhan memberi kebebasan agar orang bisa menikmati masa muda. Masa muda (khususnya) anak-anak istimewa, kalau ingat cerita Yesus dikatakan merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Mrk 10:13-16 : ketika ada orang-orang yang menghalangi anak-anak untuk datang kepada Yesus, Yesus justru mengatakan mereka jangan mencegahnya ;
Sementara Masa tua juga penting = masa untuk bisa bertumbuh dan tetap memberi buah *kurang lebih dituliskan dalam Mazmur 92. – namun tentu bergantung buah apa yang dihasilkan ! pengalaman bersama oma-opa di jemaat : makin tua ada yang justru makin suka ngambek (masalah bangku di mobil; belum dapat snack sementara temennya udah; pulang  makin tidak bijaksana, ada aja yang  spt ini). Kondisi yang IDEAL. Dituliskan dalam Alkitab!

Namun dalam perkembangannya, ternyata yang terjadi seringkali tidak demikian. Karena bertolak dari budaya timur yang mengagungkan ketuaan seseorang, maka posisi generasi muda apalagi ketika masih usia sangat muda (anak-anak) kurang mendapat tempat.

Gambaran anak-anak/orang muda, yang seringkali muncul adalah pandangan ekstrim yang menyatakan bahwa mereka kurang berpengalaman, masih terlalu polos, belum bisa bertanggungjawab, tidak dapat dipercaya, emosi labil *berubah-ubah* *hujan labil istilah anak muda zaman sekarang*bahkan yang ironis dikatakan dalam usia muda mereka tidak dapat diandalkan/ tidak punya peran baik dalam keluarga, gereja, maupun bangsa dan negara.

Ini tentu menjadi keprihatinan kita bersama.
Menjadi pertanyaan bagi kita apakah memang demikian? Hari ini dalam perenungan kita, kita akan menemukan bahwa anak muda, dimulai dari usia mereka anak-anak memiliki peran yang tidak bisa diabaikan tentu bila di dalamnya ada arahan/bimbingan dari orang yang lebih dewasa.
Kita belajar dari Mazmur 127. 


Uraian Ayat:
Kalau kita memperhatikan teks Mazmur 127, merupakan mazmur peziarahan (dimulai dari Mzm 121-134). Ditulis sebagai sebuah mazmur ungkapan syukur kepada Allah.
Namun juga dipahami sebagai mazmur yang bernuansa hikmat (ada pengajaran yang disampaikan)
Secara garis besar, Mzm 127 dapat dibagi menjadi 2 bagian :
1.      Memaknai bahwa Tuhan menjadi dasar segala sesuatu bagi manusia untuk bertindak sementara (ayat 1-2)
2.      Memaknai peran anak-anak dalam kehidupan masyarakat pada saat itu (ayat 3-5).
Kita akan memperhatikan tiap bagian secara mendalam :

BAGIAN 1: TUHAN DASAR SEGALA SESUATU
-        Tuhan dasar segala sesuatu menjadi hal penting bagi kita semua.
-        Tuhan dasar segala sesuatu sesungguhnya berarti bahwa Tuhan harus menjadi fondasi, tujuan akhir dari segala sesuatu yang kita kerjakan. Termasuk dalam hidup keluarga kita.
-        Kalau kita kembali pada Mazmur 127 : 1-2, dikatakan bahwa pekerjaan orang akan sia-sia bila semuanya tidak didasarkan pada Tuhan.
-        Tentu : Hal ini bukan berarti manusia tidak usah bekerja, serahkan saja semuanya pada Tuhan maka semua akan selesai. Kadang bisa jadi kita suka berpikir seperti itu… misalnya zaman saya studi sempat rame ada celetukan ‘udah ngga usah belajar, berdoa aja yakin kalau Tuhan pasti kasih nilai bagus…. Yahh minimal 10 dah… *padahal nilai tertinggi 100* … atau celetukan lain : udah ngga usah belajar bakar aja bukunya, telen ampasnya! J ‘asal ucap saja….’ Atau yang udah kerja, kemudian bilang ‘Tuhan saya itu baik, pasti mencukupkan kebutuhan saya – kita mendengarnya sudah damai… tapi dilanjutkan.. ya udah kita tunggu aja uangnya jatoh dari langit. Khan Tuhan itu baik… ‘salah memaknai… jadi ngga rasional
-        Bukan ! Tetapi bagian ini sesungguhnya hendak menjelaskan bahwa manusia TETAP harus bekerja dan berusaha, dan selaras dengan itu : biarlah Tuhan yang menjadi dasarnya, kita serahkan semuanya pada Tuhan. Kita mengerjakan sesuatu bukan karena untuk memuaskan keinginan kita, tapi kita mengerjakan segala sesuatu untuk memuliakan nama Tuhan.
-        Dalam pemahaman inilah : kita menyadari bekerja dengan penuh tanggung jawab diperlukan kerelaan kita untuk berkorban, rela berkorban tenaga, waktu, bahkan materi (uang). Namun, hal ini jangan dijadikan beban bagi kita. Hal ini harus kita pandang sebagai suatu yang harus kita laksanakan dengan hati yang sukacita. Dengan sukacita, maka segala sesuatu yang kita kerjakan juga akan menghasilkan suatu kesukaan juga bagi bagi orang lain dan dapat menjadi berkat bagi sesama kita.
-        Ini menjadi perenungan kita bersama dalam hidup pekerjaan – secara khusus di WVI ini. Apakah kita telah bersukacita dalam bekerja ? atau ngedumel… contoh sehari-hari.
-        Atau ngedumel yang lain ? biasa karena apa sih?  -diskusi dengan peserta!
-        Ngedumel karena jam kerja kok ditambah, ngedumel kerjaan banyak, apalagi kalau kita dapat tugas keluar (karena WVI-banyak bergerak di pelayanan masyarakat) pengorbanan waktu uang tenaga yang ternyata tidak sedikit, atau hal lainnya.  
-        Ada banyak hal : namun balik lagi ke perenungan pada point yang pertama bahwa ketika kita bersukacita maka segala sesuatu yang kita kerjakan akan membawa dampak bagi orang lain, menjadi berkat bagi sesama.
-        Dasarnya karena kita hendak dan berupaya untuk terus memuliakan Tuhan. 

BAGIAN 2: PERAN DAN KEBERADAAN ANAK-ANAK (GENERASI MUDA) YANG TIDAK BISA DIABAIKAN
-        Bagian berikutnya menjelaskan mengenai peran anak-anak dalam masyarakat pada saat itu – yang juga adalah berkat dari Tuhan.
-        Dalam pemahaman keluarga Yahudi, kehadiran anak/anak-anak memberikan dampak yang sangat besar dalam kehidupan keluarga. Apalagi anak laki-laki (pengaruh budaya patriarkal) sangat diutamakan (ay.3 “sesungguhnya anak-anak lelaki adalah milik pusaka daripada Tuhan”)
-        Cerita/kisah dalam Alkitab : banyak yang berharap akan keturunan. Misalnya cerita Abraham dan Sara yang awalnya belum dikaruniakan keturunan amat berharap kepada Allah. Dengan janji Allah akhirnya digenapi melalui kehadiran Ishak. Kendati kalau berpikir ajaib sekali karena mereka beroleh keturunan pada usia yang sangat lanjut (100 th). Kehadiran anak/anak-anak sangat dinantikan pada waktu itu. Mengapa? Karena dengan adanya anak/anak-anak menjadi berkat yang diberikan kepada umat-Nya. Anak-anak dianggap sebagai berkat Allah yang luar biasa karena melalui anak-anak seseorang memiliki harapan kehidupan dan masa depan (tafsiran Clinton Cann). Mereka juga menganggap bahwa semakin banyak anak-anak, keluarga itu akan semakin mapan, semakin kuat dan semakin utuh.
-        Kalau sekarang : banyak anak? bukan banyak rejeki lagi ya… namun jadi pergumulan dan perhatian karena yang dipikirkan tidak sebatas kebutuhan makan namun juga biaya yang lainnya.
-        Tidak hanya itu, kalau dikaitkan dalam kehidupan saat ini mereka (keluarga) yang belum atau tidak dikaruniai anak bukan berarti tidak diberkati, tetapi memiliki berkat-berkat lainnya karena seperti kata pemazmur, perjalanan/ziarah kehidupan orang percaya adalah sebuah pemeliharaan Allah,
Kembali pada teks (lanjutannya): dikatakan bahwa kehadiran anak/anak-anak pada masa muda diibaratkan anak-anak panah di tangan pahlawan.
-        Oleh karenanya peran dari masing-masing pihak di dalamnya sangatlah menentukan, baik anak panah (anak tersebut) ataupun pahlawan/pemanah (orang dewasa, bisa orangtua atau kita yang berjumpa dengan anak/anak-anak). tidak bisa hanya salah satu pihak : anak panahnya kah,,, atau si pemanah saja. Keduanya punya peran yang sangat penting. Saya tertarik untuk menggali ayat ini lebih mendalam.

-        Saya mulai dengan anak panah yang menggambarkan keberadaan anak muda tsb. Anak panah terdiri dari bagian penting :
1.      Mata panah = dibuat dari besi, kaca, batu atau benda keras lainnya. Fungsi mata panah adalah untuk melindungi batang panah. Perannya sangat penting dalam sebuah anak panah. Jika mata panah yang dibuat tidak kuat, maka anak panah akan hancur. Mata panah adalah bagian yang tajam dari anak panah, yang memungkinkan anak panah bisa menyakiti dan memanah sebuah target. Sifatnya yang tajam ini harus seperti otak dan pengetahuan. KNOWLEDGE. Namun knowledge disini tidak hanya kecerdasan dalam arti intelegent/kognitif. Namun juga kecerdasan spiritual dan emosi, pengetahuan luas, konsentrasi yang baik, tanggung jawab dan juga kecerdasan untuk menggunakan waktu.  
2.      Batang panah = bagian anak panah yang terbuat dari kayu. Sifat anak panah yang baik adalah cukup kaku tetapi juga cukup lentur. Cukup kaku agar dapat memanah dengan kuat, cukup lentur agar dapat diarahkan dengan mudah. Tak kalah pentingnya dengan mata panah, sifat batang panah adalah mengkombinasikan antara kaku dan lentur. Sifat ini harus ada di dalam hati anak-anak. Sebagai anak mereka diingatkan agar kuat untuk dalam menaati Firman dan kehendak Allah serta memiliki karakter Kristus, tetapi di lain sisi mereka juga harus memiliki hati yang lentur, yang tidak keras dalam menghadapi kekurangan-kekurangan yang ada di dalam dunia ini agar kita bisa diterima di tengah dunia.
3.      Buluh panah = berfungsi untuk mengarahkan anak panah. Ia berfungsi untuk menstabilkan anak panah ketika sedang dipanah oleh pemanah. Anak-anak yang masih muda juga harus memiliki sifat seperti buluh panah, memiliki arah yang jelas dan kuat. Sedih dan memprihatinkan kalau anak-anak ditanya apa tujuan hidupmu? Apa cita-citamu? Lalu mereka bingung jawab apa. Karena tidak ada visi dalam hidup mereka.  

-        Setelah anak panah membekali diri/memperhatikan hal-hal apa yang perlu dikembangkan, maka peran berikutnya yang juga amat menentukan adalah pemanah, yang memang siap untuk berperang menggunakan anak panah itu.

-        Apa yang harus dipersiapkan seorang pemanah? Saya juga mencatat 3 hal:
1) mengetahui sasaran*karna bagaimana mungkin kalau dia tidak tahu sasaran di depannya. Apa yang akan dihadapi!
2) membidik dengan tepat *setelah tau sasaran harus tau juga cara membidik sasaran tersebut, bicara soal cara/metode yang akan digunakan perlu juga ketelitian.
3) melepaskan anak panah tsb *bagaimana bisa berhasil dan bisa menang kalau tidak dilepaskan.

Dari paparan ini/analogi yang digunakan : maka yang penting untuk diperhatikan oleh pemanah : memahami dan mengetahui keberadaan anak/generasi muda yang memang perlu diarahkan oleh kita. Tidak hanya itu kita juga perlu memikirkan metode atau cara apa yang akan dan harus kita gunakan. Jujur kita harus akui dalam mengarahkan anak di zaman sekarang kalau dikomparasi dengan zaman dulu terjadi perbedaan yang drastis. Namun yakinilah kita mampu tentu bila kita mendidik dan mengarahkan mereka dengan pertolongan dan hikmat dari Tuhan.  Ketika anak/anak telah dibekali dng baik maka sebagai orangtua, sebagai orang dewasa kita juga siap untuk melepas mereka di tengah dunia.

-        JADI : Kesimpulan yang bisa diangkat : Kalau keduanya memainkan peran masing-masing, kita sebagai orangtua, sebagai orang dewasa merawat anak-anak, mendidik dan mengarahkan mereka, maka kita yakin dan percaya bahwa apa yang dituliskan dalam lanjutan tema hari ini “membangun masa depan yang baik” akan dapat terwujud.

 Refleksi Bagi Kita Saat ini
Anak-anak adalah generasi penerus baik itu di tengah keluarga, gereja, bahkan juga masyarakat bangsa dan Negara. Oleh karena itu bagaimana kita membekali mereka dengan nilai-nilai (bukan dalam arti score tapi value) mulai dari nilai kesantunan, nilai pendidikan, pengajaran dan tentu saja yang paling penting juga iman  kepada Tuhan mestinya menjadi tugas dan panggilan kita bersama. Secara khusus kita yang melayani di WVI (World Vision Indonesia). Pelayanan kita juga menyentuh ranah pelayanan anak.
Dalam salah satu kelas katekisasi di gereja kami, seorang murid katekisasi pernah menanyakan apakah ada lembaga Kristen yang bergerak dalam pelayanan kasih kepada masyarakat? Karena ia berangkat dari Tzu Chi yang ia ketahui. Lalu Pdt yang memimpin *waktu itu saya belum Pdt* menyampaikan bahwa jauh sebelum Tzu Chi kita sudah ada lembaga yang mengedepankan pelayanan kasih yaitu WVI. Singkat cerita saya mendapat tugas untuk mencari informasi seputar WVI untuk disharingkan kepada peserta katekisasi. Saya cari di internet, ketemu juga dengan salah seorang teman yang memang staff di WVI dan kami bertukar pikiran bersama. Dengan izin dari ybs untuk mensharingkan pengalaman di WVI, maka saya pun menyampaikan kepada peserta katekisasi dan mendapat antusiasme yang luar biasa.
Kita bersyukur bahwa Tuhan menempatkan kita dalam pelayanan di WVI yang juga salah satunya bergerak bagi pelayanan dan pendidikan anak. Oleh karena itu bagaimana kita merespon anugrah dan panggilan Tuhan untuk melayani dan memberikan yang terbaik : ini menjadi perenungan dan refleksi kita bersama. Di tengah dunia yang tidak mudah apalagi bagi kehidupan generasi muda zaman sekarang, PR kita adalah kita aktif terlibat dalam pelayanan anak/anak muda, mempersiapkan yang terbaik, sehingga pada akhirnya harapan kita adalah anak-anak bisa menjadi generasi penerus yang membangun bangsa ke depannya dan menjadi pribadi yang berkualitas. Dapat dimulai dari lingkungan terdekat kita, WVI, keluarga kepada anak/anak-anak kita ‘quality time’ bersama mereka, lingkungan gereja ‘sekolah minggu’, dan lingkup yang lebih luas : masyarakat (ada PAUD/pendidikan bagi orang yang tidak mampu), atau ketika bertemu anak-anak sekitar rumah kita bisa menanamkan nilai-nilai yang sederhana namun memberi dampak yang besar.   
Kiranya perenungan ini menjadi berkat bagi kita semua.
AMIN

Rivalitas vs Solidaritas



Renungan Warta 13 Juli 2014


Rivalitas vs Solidaritas


Bulan Juni dan Juli tahun ini, kita mengalami 2 "event" besar; (i) yang satu berkaitan dengan pesta sepakbola sejagad; dan (ii) yang satunya berkaitan dengan pesta demokrasi pemilihan Presiden Republik Indonesia. Dari kedua event besar ini, penulis mendapati 2 hasil yang berbeda yang cocok untuk mengilustrasikan tema hari ini: Rivalitas vs Solidaritas.

Pesta sepakbola sejagad. Ya, itulah World Cup yang sedang ramai-ramainya. Dalam 1.5 minggu pertama, banyak orang sudah merasa kecewa karena beberapa kesebelasan dari negara favorit (Italia, Inggris, Spanyol) terpaksa harus tersingkir pada babak pertama. Semuanya ini adalah hasil semangat rivalitas yang tinggi; semuanya ingin menang dan meraih piala dunia. Negara lain harus kalah! Apakah benar seperti itu? Kalau dilihat dalam setiap permainan, semangat rivalitas itu dimulai dengan masing-masing pemain bersalaman sebelum bermain dan, setelah "bertempur" selama 90 menit, pertandingan diakhiri dengan kembali bersalaman dan bertukar kaos. Rivalitas selama 90 menit diakhiri dengan solidaritas antar pemain untuk bersalaman. 

Dalam peristiwa yang lain, pemilihan Presiden Republik Indonesia, ceritanya berbeda. Persaingan antar calon Presiden dan Wakil Presiden diawali dengan masa kampanye dan debat antar calon. Disini rivalitas antar calon untuk memenangi pemilu tahun ini sangat dimaklumi dan hal ini membuat setiap calon berupaya untuk memberikan yang terbaik. Akan tetapi, rivalitas murni yang tidak disertai dengan solidaritas akhirnya menimbulkan rasa mau menang sendiri, menghalalkan segala cara untuk menang dan mencari cara untuk menjatuhkan saingannya. Kampanye hitam, politik uang, dan segala hal dicari dan dipakai hanya supaya bisa menang. Rivalitas diatas solidaritas.

Pada cerita hari ini, Yakub dengan semangat rivalitasnya ingin merebut hak kesulungan dari kakaknya Esau. Semangat rivalitas ini juga diperparah oleh kondisi dimana Ishak, bapa dari Esau dan Yakub yang berhak memberikan hak kesulungan ternyata lebih mengasihi Esau. Alhasil, segala cara coba dicari oleh Yakub untuk dapat merebut hak kesulungan. Akhirnya didapatinya sebuah kesempatan saat Esau sangat lapar dan lelah dari padang dan mereka saling bertukar: hak kesulungan direbut Yakub dan Esau menerima semangkuk sup merah dan roti! Apakah ini hanya karena kesalahan Esau yang tidak menghargai hak kesulungan? Tidak! Yakub juga bersalah karena, dengan semangat rivalitasnya, ia menghalalkan segala cara dan mengorbankan solidaritasnya pada saat melihat kakaknya Esau sedang kelaparan dan kelelahan dan menggunakan kesempatan itu untuk "menjatuhkan" Esau dengan merebut hak kesulungannya. Hal ini menimbulkan konsekuensi yang besar yang akhirnya membuat ketidakharmonisan antara Esau dan Yakub untuk waktu yang cukup lama.

Semangat rivalitas bukan hal yang buruk. Tanpa rivalitas, manusia tidak terpacu untuk memberikan yang terbaik dari dirinya. Bayangkan pertandingan sepakbola dimana semua pemain mau mengalah! Hasilnya adalah sepakbola "gajah", yang tidak menarik sama sekali. Bagaimana kita dapat mengontrol diri dan mengimbangi rivalitas dengan solidaritas? Dalam bacaan Roma 8:1-11 dan Matius 13:1-23, hidup dalam roh dan menjadikan hati kita menjadi tanah yang subur untuk Firman Tuhan adalah satu-satunya cara agar kita tidak lupa diri, termasuk lupa diri terhadap solidaritas. Indikator yang kita bisa rasakan adalah kalau kita cenderung mau menang sendiri dan menghalalkan segara cara, termasuk menjatuhkan orang lain, inilah dalah tanda-tanda orang yang lupa akan solidaritas.

 
Selamat berjuang dalam hidup dan memberikan yang terbaik dalam setiap kesempatan, inilah semangat rivalitas. Tempatkan Tuhan diatas rivalitas dengan memperhatikan apakah semangat rivalitas kita memberikan hasil yang positif dan kebaikan buat orang lain, inilah semangat solidaritas.
Tuhan memberkati. Amin.