Renungan Warta 13 Juli 2014
Rivalitas vs Solidaritas
Bulan Juni dan Juli tahun ini, kita mengalami 2
"event" besar; (i) yang satu berkaitan dengan pesta sepakbola
sejagad; dan (ii) yang satunya berkaitan dengan pesta demokrasi pemilihan
Presiden Republik Indonesia. Dari kedua event besar ini, penulis mendapati 2
hasil yang berbeda yang cocok untuk mengilustrasikan tema hari ini: Rivalitas
vs Solidaritas.
Pesta sepakbola sejagad. Ya, itulah World Cup yang sedang
ramai-ramainya. Dalam 1.5 minggu pertama, banyak orang sudah merasa kecewa
karena beberapa kesebelasan dari negara favorit (Italia, Inggris, Spanyol)
terpaksa harus tersingkir pada babak pertama. Semuanya ini adalah hasil
semangat rivalitas yang tinggi; semuanya ingin menang dan meraih piala dunia.
Negara lain harus kalah! Apakah benar seperti itu? Kalau dilihat dalam setiap
permainan, semangat rivalitas itu dimulai dengan masing-masing pemain
bersalaman sebelum bermain dan, setelah "bertempur" selama 90 menit,
pertandingan diakhiri dengan kembali bersalaman dan bertukar kaos. Rivalitas
selama 90 menit diakhiri dengan solidaritas antar pemain untuk bersalaman.
Dalam peristiwa yang lain, pemilihan Presiden Republik
Indonesia, ceritanya berbeda. Persaingan antar calon Presiden dan Wakil
Presiden diawali dengan masa kampanye dan debat antar calon. Disini rivalitas
antar calon untuk memenangi pemilu tahun ini sangat dimaklumi dan hal ini
membuat setiap calon berupaya untuk memberikan yang terbaik. Akan tetapi,
rivalitas murni yang tidak disertai dengan solidaritas akhirnya menimbulkan
rasa mau menang sendiri, menghalalkan segala cara untuk menang dan mencari cara
untuk menjatuhkan saingannya. Kampanye hitam, politik uang, dan segala hal
dicari dan dipakai hanya supaya bisa menang. Rivalitas diatas solidaritas.
Pada cerita hari ini, Yakub dengan semangat rivalitasnya
ingin merebut hak kesulungan dari kakaknya Esau. Semangat rivalitas ini juga
diperparah oleh kondisi dimana Ishak, bapa dari Esau dan Yakub yang berhak
memberikan hak kesulungan ternyata lebih mengasihi Esau. Alhasil, segala cara
coba dicari oleh Yakub untuk dapat merebut hak kesulungan. Akhirnya didapatinya
sebuah kesempatan saat Esau sangat lapar dan lelah dari padang dan mereka
saling bertukar: hak kesulungan direbut Yakub dan Esau menerima semangkuk sup
merah dan roti! Apakah ini hanya karena kesalahan Esau yang tidak menghargai
hak kesulungan? Tidak! Yakub juga bersalah karena, dengan semangat
rivalitasnya, ia menghalalkan segala cara dan mengorbankan solidaritasnya pada
saat melihat kakaknya Esau sedang kelaparan dan kelelahan dan menggunakan
kesempatan itu untuk "menjatuhkan" Esau dengan merebut hak
kesulungannya. Hal ini menimbulkan konsekuensi yang besar yang akhirnya membuat
ketidakharmonisan antara Esau dan Yakub untuk waktu yang cukup lama.
Semangat rivalitas bukan hal yang buruk. Tanpa rivalitas,
manusia tidak terpacu untuk memberikan yang terbaik dari dirinya. Bayangkan
pertandingan sepakbola dimana semua pemain mau mengalah! Hasilnya adalah
sepakbola "gajah", yang tidak menarik sama sekali. Bagaimana kita
dapat mengontrol diri dan mengimbangi rivalitas dengan solidaritas? Dalam
bacaan Roma 8:1-11 dan Matius 13:1-23, hidup dalam roh dan menjadikan hati kita
menjadi tanah yang subur untuk Firman Tuhan adalah satu-satunya cara agar kita
tidak lupa diri, termasuk lupa diri terhadap solidaritas. Indikator yang kita
bisa rasakan adalah kalau kita cenderung mau menang sendiri dan menghalalkan
segara cara, termasuk menjatuhkan orang lain, inilah dalah tanda-tanda orang
yang lupa akan solidaritas.
Selamat berjuang dalam hidup dan memberikan yang terbaik
dalam setiap kesempatan, inilah semangat rivalitas. Tempatkan Tuhan diatas
rivalitas dengan memperhatikan apakah semangat rivalitas kita memberikan hasil
yang positif dan kebaikan buat orang lain, inilah semangat solidaritas.
Tuhan memberkati. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar