Senin, 15 April 2013

Bertumbuh dalam Kedewasaan Iman



KHOTBAH GKI PERUMAHAN CITRA I
Minggu, 23 September 2012
Bertumbuh dalam Kedewasaan Iman”


Bacaan I              : Yeremia 11:18-20
Antar Bacaan    : Mzm 54
Bacaan II             : Yakobus 3:13-4:3, 7-8a
Bacaan III           : Injil Markus 9:30-37 “Yang berbahagia….HALELUYA
Tujuan:
Umat mampu bertumbuh dalam iman, seiring dengan keterlibatan dalam pelayanan.

K-h-o-t-b-a-h

Saat ini kita masih berada di Bulan September. Umumnya dikatakan sebagai Bulan yang penuh keceriaan. Sampai-sampai ada istilah “September Ceria”.... (ada lagunya juga...)
Di GKI SW Jabar (khususnya) ternyata bulan September juga merupakan bulan yang istimewa, mengapa demikian? Karena hampir di semua jemaat GKI SW Jabar bulan September adalah titik awal dalam kalender gereja untuk memilih calon penatua.
Tentu apa yang saya ungkapkan bukan karena Kamis yang lalu kita pun mengadakan pemilihan Gubernur GKI (karena memang bahasan tentang pemilihan Gubernur ini begitu ramai... mulai dari situs jejaring sosial sampai grup BBM), lalu saya kait-kaitkan, meskipun tokh pada akhirnya memang pas sekali... ada putaran kedua bulan September ini.... J namun memang GKI sudah mulai melakukan tahap awal pencalonan mulai bulan ini. 
GKI sangat serius dalam hal pemilihan penatua, sebab jabatan penatua adalah sosok yang akan memimpin perjalanan jemaat. Karena itu tidak heran bila tiap jemaat selalu menjadwalkan dan melakukannya dalam pergumulan dan doa agar orang-orang yang terpilih adalah orang-orang yang SERIUS dan SUNGGUH-SUNGGUH dalam menjalankan tanggung jawabnya. Oleh karenanya salah satu syarat di Tager dan Talak thn. 2009 menuliskan bahwa seorang penatua harus memiliki komitmen (penghayatan akan tugas panggilannya sebagai Pnt), karakter dan kemampuan yang juga baik.
Keseriusan dan kesungguhan melaksanakan tanggung jawab ini bukan hanya ditujukan dalam kepemimpinan terhadap jemaat tetapi yang utama adalah kepada Tuhan. Jadi dalam menjalankan tugasnya penatua mengemban kepercayaan yang Tuhan berikan dan satu lagi dalam tanggung jawabnya penatua adalah orang-orang kepercayaan Tuhan.
Dalam perjalanan pelayanan kita di gereja tidak sedikit dari antara pelayannya adalah orang yang mudah tersinggung, ngambek atau menuntut perhatian berlebihan. Hal ini tentu tidak sejalan dengan semangat pelayanan yang sejati. Apa yang menyebabkannya? Haruskah syarat kedewasan iman menjadi hal yang dituntut dari para pelayan di gereja? Atau sebaliknya, kedewasaan iman diperoleh melalui keterlibatan seseorang ketika ia berada dalam pelayanan?
Kedewasaan adalah sebuah keharusan. Setiap orang pasti menjadi orang dewasa namun tidak semua orang dewasa mengalami kedewasaan (diulangi!). Begitu juga dengan orang Kristen sudah pasti memiliki iman, paling tidak beriman kepada Yesus Kristus.  Namun tidak semua orang beriman mengalami pertumbuhan dalam kedewasaan iman. Saudara sepakat? –ditegaskan kembali- 
Hari ini kita belajar dari bacaan Leksionari Minggu (terkhusus diambil dari bacaan I tentang seorang bernama Yeremia).
Yeremia sebagai nabi Tuhan dipilih Tuhan secara istimewa. Ia termasuk nabi yang dicatat oleh Alkitab istimewa dalam keterpilihannya sebab sudah sejak dalam kandungan ibunya (“....Engkau menenun aku dari kandungan ibuku”). Namun keterpilihan Yeremia tidak otomatis menjadikannya seorang nabi yang dewasa dalam iman.
Pekerjaanya sebagai nabi Allah menuntut resiko yang besar. Tugasnya sebagai nabi yang menyuarakan kebenaran ternyata tidak serta merta mudah diterima. Perkataannya tidak diterima karena pesannya berisikan berita yang tidak menyenangkan bagi kaum Yehuda. Hal ini terjadi bukan karena Yeremia tidak dapat berdiplomasi melainkan karena Yeremia menjalankan tugas sebagai ‘diplomat Tuhan’. Itu artinya ia harus menyuarakan suara kebenaran Tuhan sekalipun kaum Yehuda menolaknya. Resiko yang harus ditanggungnya adalah keselamatan hidupnya, nyawanya menjadi terancam.
Alhasil, Yeremia mengalami tekanan yang amat berat dan kemudian bersungut-sungut kepada Tuhan. Yeremia merasa lelah sebagai nabi Tuhan yang menjalankan tugas kenabiannya sesuai dengan yang dikehendaki Tuhan. Apalagi jika kita membaca Yeremia 1:4-19 tentang panggilan dan pengutusan Yeremia (diuraikan). Apapun alasan yang dikemukakan oleh Yeremia namun kalau Tuhan berkehendak maka semua alasan tidak akan menjadi rintangan. Jelas dalam fasal tsb bahwa sebenarnya Yeremia ‘enggan’ untuk menjadi nabi Tuhan karena ia tahu resikonya. Itu sebabnya Yeremia punya alasan bersungut-sungut kepada Tuhan ketika ia mengalami resiko tersebut.
Apa yang dapat direfleksikan melalui perjalanan seorang Yeremia?
Pelayanan adalah sebuah panggilan dan pengutusan dari Tuhan. Oleh karenanya jauhkan diri kita dari kesombongan. Dalam panggilan dan pengutusan-Nya Tuhan memberi tanggung jawab kepada para pelayannya untuk serius dan bertanggung jawab untuk apa yang menjadi misi Allah.
Fokuskan pikiran, tutur, laku, hati dan jiwa hanya kepada Tuhan. Resiko pasti ada tapi bukan itu yang terpenting. Hidup beriman tidak menghasilkan orang-orang yang tidak kuatir, tidak cemas atau tidak takut. Hidup beriman menghasilkan orang-orang yang menaruh rasa kuatirnya, kecemasannya dan ketakutannya dalam iman yang disandarkan pada Kristus. Hidup orang beriman juga bukan dalam pemahaman orang yang imannya besar, melainkan orang yang bertumpu pada rahmat Tuhan yang besar. Itu yang dituliskan oleh Andar Ismail dalam tulisannya “Selamat Bergumul : 33 renungan tentang hidup beriman”.
Menjadi pelayan Tuhan (baik itu penatua maupun aktivis) adalah sebuah kebanggaan. Bangga oleh karena kita adalah orang-orang yang dipanggil dan diutus oleh Tuhan. Bangga oleh karena Tuhan berkenan menjadikan kita kawan sekerja di ladang-Nya. Namun jangan kemudian kita membanggakan diri apalagi membusungkan dada. Kita cuma pelayan, cuma hamba bukan tuan apalagi ‘bos’.
Sedih... kalau dalam pelayanan kita ada yang bertindak menjadi seperti bos... hanya mementingkan diri sendiri... berupaya agar kita bisa meraih apa yang diinginkan... apa yang kita ‘mau’.... dan sedih sekali karena yang kita inginkan adalah kehormatan/pemuliaan diri. 
Kalau ini yang terjadi kita tak ubahnya seperti para murid Yesus dalam bacaan Injil (Markus 9:30-37) yang hanya mementingkan siapa yang terbesar di antara mereka. Mereka berselisih dengan didasari oleh iri hati dan pementingan diri sendiri. Mereka memahami konsep melayani dalam sudut pandang mereka sendiri, bahwa seorang pelayan adalah orang yang justru dipandang hebat, ‘tak ubah layaknya bos’ tadi... ini konsep yang patut kita hindari dalam hidup pelayanan kita.
Menjadi pelayan Tuhan adalah sebuah kesempatan. Sebab dalam pelayanan kita akan menemukan hidup yang sejati, manusia yang sejati. Maksudnya dengan segala problem kehidupan dan segala karakter yang mengejutkan. Di sanalah cinta kita kepada Tuhan diuji. Apakah kesulitan atau salib pelayanan kita lebih besar dari cinta kita kepada Tuhan? Atau sebaliknya jika kita memandang kasih Tuhan yang besar dalam pelayanan kita maka persoalan yang besar sekalipun tidak akan mampu mengalahkan cinta kita kepada Tuhan. Sekali lagi bukan karena cinta kita yang besar melainkan karena rasa malu kita ketika melihat Tuhan yang tetap mengasihi kita walaupun seringkali kita tidak menjadi para pelayan yang serius dan bertanggung jawab.
Menjadi pelayan Tuhan adalah sebuah kesempatan, yaitu kesempatan mengalami pertumbuhan dalam kedewasaan iman. Para pelayan Tuhan yang sejati tidak akan cukup merasa puas menjadi orang beriman. Para pelayan Tuhan yang sejati selalu rindu mengalami perjumpaan dengan Tuhan karena di sanalah kesempatan tersedia untuk bertumbuh dalam kedewasaan iman.
Jadi bagaimana dengan kita saudara-saudara? Apakah kita pun bersedia untuk turut ambil bagian dalam pelayanan kepada Tuhan? Terlibat dalam pelayanan bersama dengan Tuhan?
Amat disayangkan mencari orang untuk menjadi pelayan Tuhan di saat ini, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Misalnya karena sedang dalam bahasan tentang mencari Pnt, saya amat miris melihat banyak warga GKI yang tidak menyatakan kesediaan untuk melayani sebagai Pnt, Komisi, Badan Pelayanan, Kepanitiaan, dlsb. 
Ketika di banyak gereja beraliran lain, jabatan Penatua dipandang sebagai jabatan prestisius dan ukuran prestasi seseorang sehingga menjadi sesuatu yang dikejar dan dianggap patut dimiliki (ada gereja tertentu*saudara kita*sampai ada kampanye-rekan saya Calon Pdt GPIB pernah memuat gambar para calon pnt sedang berkampanye di profile BBnya) , maka di GKI hal seperti itu tidak berlaku.
Ketika di banyak gereja di luar GKI, jabatan Penatua diperebutkan begitu rupa, tidak demikian halnya di GKI.  Di GKI kerap berlaku prinsip pelayanan yang kurang sehat. Bila di masa Orde Baru ada istilah ABS (Asal Bapak Senang, tentu Saudara tahu apa maksudnya), maka di GKI juga ada ABS (Asal Bukan Saya).
Pelayanan menjadi sesuatu yang diperlukan dan dianggap penting, namun kalau bisa bukan “saya” yang melayani dan aktif dalam kegiatan. “Saya” cukup jadi penikmat dan penonton saja.  Kenapa bisa begitu?  Karena umumnya pelayanan sebagai Penatua dengan banyaknya tugas yang diemban dipandang sebagai beban berat yang akan menambah kerepotan dalam menjalan hidup keseharian.  “Saya” tidak mau repot dan direpotkan dengan urusan ini-itu yang kadang melelahkan dan menyita banyak energi. 
Padahal...kalau boleh jujur... banyak dari kita yang setelah menjadi Penatua, Aktivis, semakin mengalami pertumbuhan dalam iman kepada Kristus. *share Pnt Citra* - rangkum kisah tsb.
Oleh karenanya saudara... mari kita terus berkomitmen melayani Tuhan tentunya dalam sebuah kedewasaan iman... *tidak cepat ABG-ambegan-.mutung, mandeg, ketika menemukan persoalan dan pergumulan dalam hidup pelayanan kita... namun melihat dari sudut pandang positif... itu upaya kita untuk terus bertumbuh dalam iman....* karena itulah yang Tuhan kehendaki terjadi dalam hidup kita. Hidup saudara dan saya.
Tuhan memberkati.



DOA



Khotbah Remaja 14 April 2013
Tema : “DOA” (Matius 6:5-8; 7:7-11)

-KHOTBAH-
Penjelasan Tema : “DOA”

Berbicara tentang doa à doa bukan hal yang asing di telinga kita. Sejak kecil kita diajarkan cara berdoa oleh orang tua, guru kita, atau Guru Sekolah Minggu kita. Sejak kecil kita berdoa kepada Tuhan. Bahkan sebelum memulai dan mengakhiri setiap aktivitas kita, mulai pagi sampai malam, kita juga berdoa.

Jadi, doa bukanlah hal yang asing lagi telinga kita.
Hanya saja pertanyaannya, sudahkah doa menjadi kebutuhan utama kita?

Ilustrasi :             
Konon, ada seorang petapa yang sangat terkenal akan kesalehannya. Ia berdoa 6 kali sehari. Ia berpuasa hampir setiap hari.

Suatu kali ia berdoa kepada Tuhan. Lalu dalam doanya Tuhan berkata kepadanya, “Hai, Petapa… Aku tahu bahwa engkau hidup dengan saleh. Namun, aku hendak menunjukkan seorang yang lebih saleh dari dirimu.”

“Aku tidak percaya Tuhan, masa ada yang lebih saleh dari aku?” Protes si petapa. “Kalau tidak percaya, pergilah kamu ke kota A, maka kamu akan menemukan seorang yang lebih saleh darimu,” ungkap Tuhan.

Keesokan harinya petapa ini pun pergi ke kota A dan akhirnya atas petunjuk Tuhan, sampailah ia di sebuah rumah gubuk. Ketika ia masuk, ia menjumpai sang pemilik rumah yang adalah seorang petani. Dalam hati ia protes, “Masa petani ini lebih saleh dari aku?”

Akhirnya malam pun tiba. Petapa itu bermalam dan tidur sekamar dengan petani itu. Sebelum tidur, sang petani  berdoa kepada Tuhan. Keesokan harinya, mereka pun bangun. Sebelum petani ini beranjak dari tempat tidurnya, ia kembali berdoa kepada Tuhan. Lalu pergilah ia ke sawah dengan membawa cangkulnya.
Petapa ini protes kepada Tuhan, “Tuhan, apakah Engkau yakin kalau petani ini lebih saleh dari aku? Ia hanya berdoa dua kali sehari. Sementara aku, berdoa enam kali sehari, bahkan setiap hari aku berpuasa.” “

Kalau kamu masih belum yakin, aku meminta kamu melakukan sesuatu. Esok pagi, kamu harus mengelilingi kota ini. Kamu harus membawa gelas. Isilah gelas itu dengan air sampai penuh. Syaratnya, tidak boleh setetes air jatuh dari gelas itu ke tanah.”

Akhirnya, sang petapa mengelilingi kota A dari pagi sampai petang hari. Ia berhasil, tidak ada setetes air yang jatuh. Ia pun berkata kepada Tuhan, “Tuhan, aku berhasil. Terbukti kan kalau aku ini lebih saleh dari petani itu.”

Tuhan bertanya, “Hai petapa, aku hendak bertanya. Ketika engkau mengelilingi kota ini, seberapa seringkah engkau mengingat Aku?” Tanya Tuhan. “Maaf Tuhan, aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku. Aku berkonsentrasi agar tidak ada setetes air yang tumpah sehingga Aku tidak mengingatmu seharian,” ucap sang Petapa.
“Lihatlah sang petani itu, dalam kesibukannya ia mengingat aku meskipun hanya dua kali. Namun, dalam kesibukanmu, engkau tidak mengingat Aku.”

Melalui ilustrasi ini, mari kita membayangkan jika Tuhan bertanya kepada kita, “Remaja Citra 1, dalam kesibukan belajarmu seberapa seringkah kalian mengingat Aku?” Apakah jawab kalian…?

Persoalan yang terjadi:
-          Kita berdoa/ingat Tuhan : kalau punya masalah, lagi mau ujian... (remaja citra unik à ujian gereja malah sepi, padahal ‘harusnya rame’ J
-          Kita berdoa/ingat Tuhan : lagi putus cinta à kalau dia jodoh saya, dekatkanlah; kalau bukan jodoh ‘gimana caranya supaya jadi jodoh’
-          Kita berdoa : kalau sedih, kecewa, galau, punya persoalan. Sementara kalau senang heppy dll LUPA... ‘Boro-boro inget Tuhan’. Mikirinnya siapa? DIRI SENDIRI.
Pada point pertama  kita belajar :
DOA = KEBUTUHAN.
DOA = NAFAS HIDUP.
DALAM DOA  = KOMUNIKASI.

Bayangkan kalau kita sama sekali tidak diperbolehkan berkomunikasi dengan orang lain, betapa menderitanya kita. Di Afrika, konon ada sebuah suku yang melaksanakan hukuman mati bagi warganya dengan cara mengusir dan mengucilkan ia dari komunitasnya. Tidak seorangpun boleh melakukan kontak dengannya. Apa yang terjadi? Si terhukum akan merana sendiri dan mati kesepian.

Jadi, doa bukanlah kewajiban, panggilan atau undangan. Doa merupakan kebutuhan kita. seperti kita membutuhkan udara untuk hidup jasmani, begitu juga kita membutuhkan doa untuk hidup rohani. Tidak salah jika doa disebut juga sebagai nafas orang kristiani. Tanpa napas, tubuh jasmani kita mati. Bandingkan masa seseorang bertahan untuk tidak napas (6-7 menit mungkin masih kuat, tapi menit ke-8 : PINGSAN bahkan bisa MATI)

 Tanpa doa, tubuh rohani kita kering dan mati. Maka, jika kita merasa hidup ini hampa, kosong, tidak bergairah, jangan-jangan kita memang kurang berdoa.

Apa tandanya doa menjadi kebutuhan kita…?? kalau tidak berdoa ada yang kurang… (Indonesia: Perut nasi)

Oleh karena itu, doa adalah landasan hidup kita. doa bukanlah jalan terakhir. Doa harus menjadi yang pertama dan utama, langkah awal ketika kita hendak memulai sesuatu di mana pun dan kapan pun. Jadi keliru kalau kita baru ingat berdoa hanya selagi butuh atau kepepet. Juga keliru, kalau kita baru berdoa setelah usaha lain-lain tidak berhasil.






Kedua, SETELAH TAU MAKNA DOA : BELAJAR PULA à SIKAP BERDOA
How? Bagaimana?

*Doa bukan pamer kesalehan! Sesuatu yang dilakukan supaya dilihat orang.
-          Bnd. Matius 6 : kehidupan doa di Yahudi. (orang Farisi : sebenarnya positif à berdoa 5x sehari, sebelum dan sesudah matahari terbenam, pk. 09.00, 12.00, dan 15.00) namun menjadi tidak positif ketika itu dipamerkan/show off. Ada kecenderungan : berdiri, tangan terentang ke atas, kepala tunduk, pergeseran tujuan : SUPAYA DILIHAT ORANG. DIPANDANG SALEH.Bahkan dituliskan pada jam-jam tertentu mereka sengaja berada di keramaian supaya dilihat orang.
-          Inilah yang ditegur oleh Yesus dalam bacaan ini.
-          Teguran Yesus : jangan berdoa seperti orang munafik. Berdiri di rumah ibadah dan tikungan jalan raya , dng tujuan supaya dilihat orang.
-          Nasihat Yesus à berdoa à masuk kamar; tutup pintu, berarti à DOA = HARUS FOKUS, DOA = MENJALIN RELASI.

*Doa bukanlah mantra.
-          FT : doa bukan sesuatu yang bertele-tele.
-          Kondisi bangsa Yahudi kala itu : hidup nersama bangsa-bangsa lain yang memiliki kebiasaan berdoa berpanjang-panjang kata, tujuannya : supaya doa mereka dikabulkan oleh sesembahan mereka.
-          Jadi doa lebih mirip dng mantra.
-          Yesus memperingatkan : ayat 7 ‘jangan bertele-tele kalau berdoa’
-          Doa yang bertele-tele “bukan doa yang panjang”, tetapi doa yang sengaja dipanjang-panjangkan, kata-katanya diulang-ulang dengan maksud merayu atau mengendalikan Tuhan supaya mengabulkan doanya.
-          Doa : penyerahan dan keyakinan bahwa Tuhan tahu apa yang terbaik daripada diri kita sendiri. (ditujukan kepada Allah, memuliakan Allah)


*Doa bukan pemaksaan kehendak kita kepada Tuhan
- ‘jadilah kehendak-Mu’ INGAT!
- ay 7-11 “salah kaprah, kelirumologi’ à kita mengartikan semua pasti terkabul
- ayat-ayat itu saling terkait, tidak dipisahkan dengan ayat selanjutnya
- ay. 11b ‘yang baik bagi kita yang memintanya’

PENTING :
‘yang baik’ = belum tentu KITA INGINKAN.

William Barclay : SEMUA DOA PASTI DIJAWAB
-          IYA (langsung)
-          TUNGGU
-          TIDAK (Cuma 3)

Ada yang ke-4 “IYA, TAPI BEDA” à MINTA A, DIKASIH B.

Intinya “Tuhan kasih yang THE BEST”, jangan menyerah, tetap ‘do the best aja!

Suatu kali ada seorang peneliti melakukan percobaan terhadap ikan. Peneliti ini mau melihat apakah ikan itu mudah menyerah atau tidak.

Akhirnya peneliti itu mengeluarkan sebuah aquarium lalu di tengah aquarium diberi kaca pembatas. Sehingga ada 2 ruangan dalam aquarium itu. Nah, akhirnya aquarium diisi air. di sisi yang satu di masukkan seekor ikan besar yang sudah 1 hari tidak dikasih makan. Dan di sisi yang satu dimasukkan ikan-ikan kecil yang biasa menjadi santapan ikan besar.

Apa yang terjadi?

Ikan besar itu berusaha melahap ikan2 kecil.
Tapi bisa gak yah?
Gak bisa karena ada kaca pembatas.
Sehingga setiap kali mau melahap, maka ikan ini kepentok kaca pembatas.
Terus ia berusaha…tapi kepentok terus..
Akhirnya ikan itu menyerah..

Nah percobaan kedua,
Kaca pembatas itu diangkat sehingga apa yang terjadi, ikan-ikan kecil itu berenang bebas bahkan mendekati mulut ikan besar.
Pertanyaannya, apakah ikan besar tersebut melahap ikan kecil?
Tidak!!!
Karena dalam bayangannya pasti gagal lagi…
Pasti mulutnya kepentok lagi…

Nah, anak-anak… ikan tadi mengalami kegagalan
tetapi ia malah menyerah padahal ada kesempatan yang baik.

Bagaiman dng kita?
Apakah kita anak2  Tuhan yang mudah menyerah?
Ya sudah deh, gak usah belajar matematik. Toh juga kalau ulangan dapet 5 terus… mendingan gak usah belajar….
Nah, adik-adik… Tuhan tidak suka kalau kita mudah menyerah…
               
Di dalam usaha yang kita lakukan pasti Tuhan akan berkati dan memberikan jalan keluar. Perjuangan di dalam Tuhan tidak akan sia2…

RANGKUM PEMBELAJARAN :
1.      DOA = KEBUTUHAN
2.      SIKAP DOA :
-          Doa bukan pamer kesalehan!
-          Doa bukan mantera
-          Doa bukan pemaksaan kehendak
-          Doa dibarengi dengan upaya.

Menjadi komunitas yang saling percaya



KHOTBAH GKI PERUMAHAN CITRA I
Minggu, 7 April 2013
Menjadi Komunitas yang Saling Percaya”

Bacaan I              : Kis 5:27-32
Antar Bacaan    : Mzm 150
Bacaan II             : Wahyu 1:4-8
Bacaan III           : Injil Yohanes 20:19-31 “Yang berbahagia….HALELUYA
Tujuan:
Umat termotivasi membangun persekutuan menjadi komunitas yang saling percaya

K-h-o-t-b-a-h

Tema minggu ini adalah Menjadi Komunitas yang Saling Percaya.

Saling percaya à barang langka à dalam hidup masyarakat dimana kita berada/dalam hidup sehari-ahri.

Yang kini terjadi : justru adalah ketidakpercayaan.

Suami tidak percaya dengan istri, demikian sebaliknya. Istri tidak percaya pada suami à kaitan à hidup rumah tangga.

Apa kira-kira penyebab suami tidak percaya kepada istri? Atau istri tidak percaya kepada suami? –diskusi dengan umat-

Ketika suami sibuk sepertinya betah di kantor, tidak ada waktu untuk istri, pergi keluar kota untuk waktu yang lama, tidak diberitahu kemana, dengan siapa è muncul ketidakpercayaan dari pihak istri.

Ini baru ketidak percayaan suami-istri. Bagaimana kepercayaan orangtua terhadap anak?

Berapa banyak orangtua pada zaman sekarang yang juga sulit memiliki trust / kepercayaan kepada anak/anak mereka? Ternyata semakin memudar.

Alasannya : sudah dikasih kepercayaan ehh disalahgunakan. Sudah pamit pulang jam 10 malem, ditunggu sampai jam 1 pagi belum muncul, dihubungi sulit, teman-temannya juga sama... itu menimbulkan kebimbangan dan ketidak percayaan dari sudut orangtua. Apalagi pergaulan dan dunia anak muda sekarang yang semakin akrab dengan dunia narkoba.... kebebasan yang kadang disalahartikan yang kemudian berdampak bagi kepercayaan/trust di antara mereka.

Sulitnya memiliki rasa saling percaya juga terjadi dalam lingkungan pekerjaan. Gap antara atasan dan bawahan à tidak bisa dihindari.

Cukup banyak atasan yang kemudian tidak memiliki kepercayaan kepada bawahannya karena ternyata ketika dipercayakan suatu tugas, mereka justru malah mangkir atau menunda tugas itu... menyalahgunakan apa yang telah dipercayakan. Itu kondisinya.

Bagaimana dalam hidup berbangsa dan bernegara? IRONIS. Ketidakpercayaan juga menjadi persoalan yang tidak bisa dihindari.

Menjelang pemilu 2014 nanti. Demokrasi dan keadilan sudah tidak berlaku dalam bumi pertiwi indonesia sekarang. Pemimpin yang dicari pun sepertinya tidak ada yang sesuai dengan harapan masyarakat saat ini, kepalsuan demi kepalsuan ditutupi dengan kepalsuan yang lainnya, rangkaian dan rentetan janji selama ini tidak ada yang bisa dibuktikan,tanpa rasa bersalah,tanpa rasa menyesal mereka (Politisi Korup) menjual mimpi dan harga diri.

Mencari pemimpin amat sulit. Harian kompas mengatakan ada 3 hal yang perlu dimiliki seorang pemimpin: Integritas yaitu jujur dan bisa dipercaya (menempati posisi pertama), kemampuan/kapabilitas memimpin pada posisi kedua, dan bersedia berdiri di atas golongan (tidak kemudian menitikberatkan salah satu yang membawa ketidakadilan bagi masyarakat).

Idealnya memang seperti itu. Namun bagaimana realitanya? Yang terjadi justru yang sebaliknya. Krisis kepercayaanlah yang justru terjadi.

Indonesia ternyata dikenal sebagai masyarakat yang tingkat saling percayanya sangat rendah (low trust society). Selain kasus kepemimpinan, kasus korupsi, kasus ujian nasional yang saat ini dikawal oleh polisi bersenjata karena pemerintah tidak percaya kepada sekolah-sekolah penyelenggara ujian (banyak terjadi kecurangan disana-sini) mungkin hanya beberapa fakta yang semakin mempertegas bobroknya tingkat kepercayaan kepada bangsa.

Sosiolog Frances Fukuyama dalam bukunya Trust : The Social Virtues and the Creation of Prosperity, menuliskan mengapa di dunia ini ada bangsa-bangsa yang maju sementara ada pula yang malah terbelakang.

Menurut Fukuyama, salah satu faktor yang menentukan maju/tidaknya sebuah negara adalah pada rasa saling percaya dalam masyarakat tersebut. Negara-negara maju di Amerika, Eropa, bahkan juga Jepang (kalau di Asia) ternyata menurut penelitian adalah masyarakat dengan tingkat saling percaya yang cukup tinggi di antara warganya.  Apa bukti tingginya rasa saling percaya itu? Mereka tak segan-segan mengembangkan diri pada penelitian berbiaya besar untuk menghasilkan temuan ilmiah dan teknologi.  Lembaga-lembaga pendidikan diberi kebebasan yang cukup besar, untuk mengembangkan program-program pendidikan yang kreatif... ada kepercayaan yang diberikan kepada masyarakat untuk mengelolanya.

Sementara sebaliknya, negara-negara yang semakin terbelakang adalah negara yang tingkat kepercayaannya amat rendah, dan bisa jadi Indonesia saat ini sudah masuk di dalamnya. Krisis kepercayaan yang tentunya membutuhkan perhatian kita semua.  

Lalu bagaimana dengan gereja ? apakah rasa saling percaya itu dengan mudahnya ditemui dalam persekutuan umat Tuhan? Dengan jujur kita mesti mengakui ternyata ternyata krisis kepercayaan juga ditemui dalam realitas kehidupan persekutuan kita.

Tidak percaya dengan rekan sepelayanan, tidak percaya pada tugas yang dikerjakan, tidak percaya antar warga gereja, saling mencurigai, menggunjingkan satu sama lain, mungkin hanya beberapa di antaranya.

Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Ada efek/dampak yang bisa muncul dari ketidakpercayaan ini.

Salah satu yang paling mudah adalah RELASI. Adanya ketidakpercayaan akan berimbas pada relasi seseorang. Relasi yang awalnya baik, semakin memudar.
Dari awalnya pasangan bisa tidak jadi pasangan lagi..... yang awalnya kawan bisa kemudian menjadi lawan. Dari awalnya rekan, kemudian menjadi musuh. Ketidakpercayaan ternyata harus berdampak pada terganggunya/rusaknya relasi dengan sesama. Ini tentu harus dihindari. 

Komunitas dimana kita berada mestinya adalah komunitas yang bisa saling percaya satu sama lain.

------------------------------------------------------------------------------------------------

Bagaimana agar rasa saling percaya itu dapat dibangun dalam komunitas dimana kita berada? à Uraian FT
1.    Injil Yohanes : Memberikan ruang untuk kehadiran Yesus dalam hidup kita serta komunitas dimana kita berada.
Ini yang terjadi dalam kisah murid-murid Yesus seperti disaksikan dalam bacaan kita. Awalnya mereka dilanda pada kondisi yang berat, ketakutan yang sangat besar, sampai mereka harus mengunci pintu karena takut kepada para pemimpin agama Yahudi. Setelah penganiayaan dan penyaliban Yesus, para pemimpin agama Yahudi memang mencurigai setiap orang yang menjadi pengikut Yesus dari Nazaret. Apalagi kini telah tersebar bahwa Yesus yang disalibkan itu bangkit dari kematianNya
Di antara murid : tidak saling percaya!
Ketidakpercayaan yang cukup jelas dalam bacaan Injil à ketidakpercayaan Tomas pada apa yang disaksikan oleh rekan-rekannya.

Diceritakan bahwa saat itu Tomas tidak bersama dengan rekan-rekannya ketika Yesus datang. Jadi, Tomas tidak ikut mengurung diri dalam ruang yang terkunci. Apakah karna ia lebih berani? Atau malah sebaliknya? Ia yang paling berat krisis kepercayaannya sehingga terhadap rekannya ia tidak percaya?

Alasan kedua lebih mungkin dan masuk akal. Tomas mengalami krisis yang luar biasa parah, ia sangat terpukul dengan kematian Yesus sehingga ia menyingkir, menanggung kesedihan sendiri dan tidak mau diganggu oleh yang lain. 
Namun ketakutan itu sirna tatkala mereka mengalami perjumpaan dengan Yesus yang bangkit yang menyapa dan sapaannya meneduhkan ‘Yesus menyapa mereka’.

Sapaan khas orang Yahudi. “damai sejahtera bagi kamu”.

Salam ini sama dengan salam yang diucapkan oleh saudara-saudara yang beragama Muslim ‘asalam mualaikum’. Salam ini biasa dilakukan di wilayah Timur Tengah bila mereka berjumpa satu sama lain. DI AS “Howdy”.

Kata ‘damai sejahtera’ yang tertulis ini memiliki makna yang dalam. Ia tidak hanya sekedar tidak ada perang lalu damai, namun kata damai sejahtera yang diucapkan ini memiliki arti keutuhan dalam hidup bangsa yang terkoyak dan pecah.

Kata ini juga bisa berarti keselarasan bila 2 orang/2 kelompok berdamai setelah ada ‘perang’. Kata tersebut mengandung arti sejahtera, makmur, mendapat berkat, seperti petani ketika sedang panen. Kata itu berarti syalom, sejahtera, selaras, berkat dan selamat. Kata ini bukan sekedar berarti ‘kiranya kamu diselamatkan dari kesukaran’, namun lebih dari itu ‘Tuhan memberi segala yang baik’
Dalam situasi yang menegangkan dan mencekam, kedatangan Yesus dan salam-Nya sungguh menjadi berkat yang luar biasa. Mereka diyakinkan bahwa Tuhan tidak tinggal diam. Ia hadir bagi mereka.

Pengalaman berjumpa dengan Yesus inilah yang kemudian pada akhirnya membuat Tomas mengaku bahwa Yesus adalah Tuhan. Sebelumnya : ay. 25 “...sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya, dan sebelum aku mencucukan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya... “ à perjumpaan itu mengubahkan à menimbulkan pengakuan iman Tomas. 

Pengakuan Tomas itu dipakai oleh Yesus bahwa percaya tidak perlu didahului oleh melihat. Pernyataan Yesus terdiri dari 2 kalimat ‘karena engkau telah melihat Aku maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya (20:29)

Sebenarnya dalam bahasa aslinya, kalimat pertama berbentuk interogatif yaitu ‘hoti eurakas me pepisteukas?” (karena engkau melihat Aku, engkau percaya?)

Di sini Yesus menyatakan bahwa percaya bukan buah dari bukti, percaya timbul meskipun tidak ada bukti.

Kehadiran Yesus di tengah ketakutan yang dihadapi bagaikan suntikan vitamin yang menyegarkan tubuh dan memberikan pengharapan yang baru. Itulah makna kebangkitan Kristus. 

Inilah yang juga mestinya menjadi keteguhan iman kita sebagai umat Tuhan yang telah mengalami kuasa kebangkitan Kristus. Hidup dalam kuasa kebangkitan adalah hidup yang penuh dengan pengharapan, damai sejahtera, dan terus dibarui oleh Tuhan.

Dasar awal : PERCAYA! Percaya pada Yesus yang bangkit à memberikan damai sejahtera yang memberikan dampak bagi para murid termasuk kita.  

Percaya pada Yesus yang bangkit à memberikan keberanian bagi para murid untuk mempersaksikan Yesus yang adalah Tuhan dan Juruselamat mereka.

Memperhatikan bacaan 1 : tampak jelas. Perubahan ini juga terjadi pada murid-murid Yesus ketika mereka berada di depan Mahkamah Agung.

Kis 5:29 à Petrus dan rasul-rasul berani menjawab bahwa mereka bersaksi demi nama Tuhan Yesus. Peristiwa kematian dan kebangkitan serta pengalaman mereka bersama Yesus membuat mereka berani bersaksi. Dampak percaya!

b.      Di antara kita (orang-orang yang ada dalam komunitas)  juga belajar untuk menumbuhkan rasa saling percaya. Meyakini : kehadiran orang lain memberikan makna yang berguna dalam hidup kita.

 Dalam proses itu, kita belajar untuk tidak selalu menuntut dan memerintah, tetapi mendelegasikan dan memberikan keteladanan.

Inilah yang juga terjadi pada murid-murid Yesus. Mereka sadar bahwa mereka lemah. Bukan saja karena kehilangan Yesus Sang Guru, namun kondisi eksternal tidak mendukung mereka. Koalisi dan kolaborasi agama Yahudi dan pemerintah menjatuhkan vonis maut sungguh-sungguh menciutkan nyali para murid. Mereka menjadi warga masyarakat yang secara sistematis sengaja dimarginalkan.

Sikap kurang bersahabat bahkan bermusuhan, jelas tergambar dari sikap para murid Yesus yang secara sembunyi-sembunyi mencari aman dalam persekutuan di komunitas itu.

Indikasi ini kita dapat dari fakta yang menyebutkan mereka bersekutu, bersama menutup pintu rapat-rapat, karena mereka takut kepada orang Yahudi. Hal ini membuat mereka berkumpul dan bersekutu, Mereka belajar saling memercayakan diri dan satu sama lain saling mendukung, saling menopang, dan saling bergandengan tangan.

Akhirnya? Sebuah pengharapan dan ketenanganlah yang mereka peroleh. Sekali lagi semua berawal dari kesediaan diri untuk saling percaya satu sama lain.

(rangkum 2 point)

Gereja : kelanjutan dari komunitas murid-2 Yesus. Belajar dari murid yang akhirnya bisa saling memercayakan diri, maka mestinya itulah yang juga kita lakukan dalam keberadaan kita sebagai komunitas umat Tuhan.

Tuhan memberkati.