KHOTBAH
GKI PERUMAHAN CITRA I
Minggu, 7 April 2013
“Menjadi Komunitas yang
Saling Percaya”
Bacaan I : Kis
5:27-32
Antar Bacaan : Mzm 150
Bacaan II : Wahyu 1:4-8
Bacaan III : Injil Yohanes
20:19-31 “Yang berbahagia….HALELUYA”
Tujuan:
Umat termotivasi membangun persekutuan menjadi komunitas
yang saling percaya
K-h-o-t-b-a-h
Tema minggu ini adalah Menjadi Komunitas
yang Saling Percaya.
Saling percaya à barang langka à dalam hidup masyarakat dimana kita
berada/dalam hidup sehari-ahri.
Yang kini terjadi : justru adalah
ketidakpercayaan.
Suami tidak percaya dengan istri, demikian
sebaliknya. Istri tidak percaya pada suami à kaitan à hidup rumah tangga.
Apa kira-kira penyebab suami tidak percaya
kepada istri? Atau istri tidak percaya kepada suami? –diskusi dengan umat-
Ketika suami sibuk sepertinya betah di
kantor, tidak ada waktu untuk istri, pergi keluar kota untuk waktu yang lama,
tidak diberitahu kemana, dengan siapa è muncul
ketidakpercayaan dari pihak istri.
Ini baru ketidak percayaan suami-istri.
Bagaimana kepercayaan orangtua terhadap anak?
Berapa banyak orangtua pada zaman sekarang
yang juga sulit memiliki trust / kepercayaan kepada anak/anak mereka? Ternyata
semakin memudar.
Alasannya : sudah dikasih kepercayaan ehh
disalahgunakan. Sudah pamit pulang jam 10 malem, ditunggu sampai jam 1 pagi
belum muncul, dihubungi sulit, teman-temannya juga sama... itu menimbulkan
kebimbangan dan ketidak percayaan dari sudut orangtua. Apalagi pergaulan dan
dunia anak muda sekarang yang semakin akrab dengan dunia narkoba.... kebebasan
yang kadang disalahartikan yang kemudian berdampak bagi kepercayaan/trust di
antara mereka.
Sulitnya memiliki rasa saling percaya juga
terjadi dalam lingkungan pekerjaan. Gap antara atasan dan bawahan à tidak bisa dihindari.
Cukup banyak atasan yang kemudian tidak
memiliki kepercayaan kepada bawahannya karena ternyata ketika dipercayakan
suatu tugas, mereka justru malah mangkir atau menunda tugas itu... menyalahgunakan
apa yang telah dipercayakan. Itu kondisinya.
Bagaimana dalam hidup berbangsa dan
bernegara? IRONIS. Ketidakpercayaan juga menjadi persoalan yang tidak bisa
dihindari.
Menjelang
pemilu 2014 nanti. Demokrasi dan keadilan sudah tidak berlaku dalam bumi
pertiwi indonesia sekarang. Pemimpin yang dicari pun sepertinya tidak ada yang
sesuai dengan harapan masyarakat saat ini, kepalsuan
demi kepalsuan ditutupi dengan kepalsuan yang lainnya, rangkaian dan rentetan
janji selama ini tidak ada yang bisa dibuktikan,tanpa rasa bersalah,tanpa rasa
menyesal mereka (Politisi Korup) menjual mimpi dan harga diri.
Mencari pemimpin amat sulit. Harian kompas mengatakan ada 3 hal yang
perlu dimiliki seorang pemimpin: Integritas yaitu jujur dan bisa dipercaya
(menempati posisi pertama), kemampuan/kapabilitas memimpin pada posisi kedua,
dan bersedia berdiri di atas golongan (tidak kemudian menitikberatkan salah
satu yang membawa ketidakadilan bagi masyarakat).
Idealnya memang seperti itu. Namun bagaimana realitanya? Yang terjadi
justru yang sebaliknya. Krisis kepercayaanlah yang justru
terjadi.
Indonesia ternyata dikenal sebagai masyarakat
yang tingkat saling percayanya sangat rendah (low trust society). Selain kasus kepemimpinan, kasus korupsi, kasus
ujian nasional yang saat ini dikawal oleh polisi bersenjata karena pemerintah
tidak percaya kepada sekolah-sekolah penyelenggara ujian (banyak terjadi
kecurangan disana-sini) mungkin hanya beberapa fakta yang semakin mempertegas bobroknya
tingkat kepercayaan kepada bangsa.
Sosiolog Frances Fukuyama dalam bukunya Trust : The Social Virtues and the Creation
of Prosperity, menuliskan mengapa di dunia ini ada bangsa-bangsa yang maju
sementara ada pula yang malah terbelakang.
Menurut Fukuyama, salah satu faktor yang
menentukan maju/tidaknya sebuah negara adalah pada rasa saling percaya dalam
masyarakat tersebut. Negara-negara maju di Amerika, Eropa, bahkan juga Jepang
(kalau di Asia) ternyata menurut penelitian adalah masyarakat dengan tingkat
saling percaya yang cukup tinggi di antara warganya. Apa bukti tingginya rasa saling percaya itu?
Mereka tak segan-segan mengembangkan diri pada penelitian berbiaya besar untuk
menghasilkan temuan ilmiah dan teknologi.
Lembaga-lembaga pendidikan diberi kebebasan yang cukup besar, untuk
mengembangkan program-program pendidikan yang kreatif... ada kepercayaan yang
diberikan kepada masyarakat untuk mengelolanya.
Sementara sebaliknya, negara-negara yang
semakin terbelakang adalah negara yang tingkat kepercayaannya amat rendah, dan
bisa jadi Indonesia saat ini sudah masuk di dalamnya. Krisis kepercayaan yang
tentunya membutuhkan perhatian kita semua.
Lalu bagaimana dengan gereja ? apakah rasa
saling percaya itu dengan mudahnya ditemui dalam persekutuan umat Tuhan? Dengan
jujur kita mesti mengakui ternyata ternyata krisis kepercayaan juga ditemui
dalam realitas kehidupan persekutuan kita.
Tidak percaya dengan rekan sepelayanan,
tidak percaya pada tugas yang dikerjakan, tidak percaya antar warga gereja,
saling mencurigai, menggunjingkan satu sama lain, mungkin hanya beberapa di
antaranya.
Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan begitu
saja. Ada efek/dampak yang bisa muncul dari ketidakpercayaan ini.
Salah satu yang paling mudah adalah RELASI.
Adanya ketidakpercayaan akan berimbas pada relasi seseorang. Relasi yang
awalnya baik, semakin memudar.
Dari awalnya pasangan bisa tidak jadi
pasangan lagi..... yang awalnya kawan bisa kemudian menjadi lawan. Dari awalnya
rekan, kemudian menjadi musuh. Ketidakpercayaan ternyata harus berdampak pada
terganggunya/rusaknya relasi dengan sesama. Ini tentu harus dihindari.
Komunitas dimana kita berada mestinya
adalah komunitas yang bisa saling percaya satu sama lain.
------------------------------------------------------------------------------------------------
Bagaimana agar rasa saling percaya itu
dapat dibangun dalam komunitas dimana kita berada? à Uraian FT
1.
Injil Yohanes : Memberikan ruang untuk kehadiran Yesus dalam hidup kita
serta komunitas dimana kita berada.
Ini yang
terjadi dalam kisah murid-murid Yesus seperti disaksikan dalam bacaan kita.
Awalnya mereka dilanda pada kondisi yang berat, ketakutan yang sangat besar,
sampai mereka harus mengunci pintu karena takut kepada para pemimpin agama Yahudi. Setelah penganiayaan
dan penyaliban Yesus, para pemimpin agama Yahudi memang
mencurigai setiap orang yang menjadi pengikut Yesus dari Nazaret. Apalagi kini
telah tersebar bahwa Yesus yang disalibkan itu bangkit dari kematianNya
Di antara
murid : tidak saling percaya!
Ketidakpercayaan yang cukup jelas dalam
bacaan Injil à
ketidakpercayaan Tomas pada apa yang disaksikan oleh rekan-rekannya.
Diceritakan bahwa saat itu Tomas tidak
bersama dengan rekan-rekannya ketika Yesus datang. Jadi, Tomas tidak ikut
mengurung diri dalam ruang yang terkunci. Apakah karna ia lebih berani? Atau
malah sebaliknya? Ia yang paling berat krisis kepercayaannya sehingga terhadap
rekannya ia tidak percaya?
Alasan kedua lebih mungkin dan masuk akal. Tomas
mengalami krisis yang luar biasa parah, ia sangat terpukul dengan kematian
Yesus sehingga ia menyingkir, menanggung kesedihan sendiri dan tidak mau
diganggu oleh yang lain.
Namun ketakutan itu sirna tatkala mereka mengalami perjumpaan dengan Yesus
yang bangkit yang menyapa dan sapaannya meneduhkan ‘Yesus menyapa mereka’.
Sapaan khas orang Yahudi. “damai sejahtera
bagi kamu”.
Salam ini sama dengan salam yang diucapkan
oleh saudara-saudara yang beragama Muslim ‘asalam mualaikum’. Salam ini biasa
dilakukan di wilayah Timur Tengah bila mereka berjumpa satu sama lain. DI AS
“Howdy”.
Kata ‘damai sejahtera’ yang tertulis ini
memiliki makna yang dalam. Ia tidak hanya sekedar tidak ada perang lalu damai,
namun kata damai sejahtera yang diucapkan ini memiliki arti keutuhan dalam
hidup bangsa yang terkoyak dan pecah.
Kata ini juga bisa berarti keselarasan bila
2 orang/2 kelompok berdamai setelah ada ‘perang’. Kata tersebut mengandung arti
sejahtera, makmur, mendapat berkat, seperti petani ketika sedang panen. Kata
itu berarti syalom, sejahtera, selaras, berkat dan selamat. Kata ini bukan
sekedar berarti ‘kiranya kamu diselamatkan dari kesukaran’, namun lebih dari itu
‘Tuhan memberi segala yang baik’
Dalam situasi yang menegangkan dan
mencekam, kedatangan Yesus dan salam-Nya sungguh menjadi berkat yang luar
biasa. Mereka diyakinkan bahwa Tuhan tidak tinggal diam. Ia hadir bagi mereka.
Pengalaman berjumpa dengan Yesus inilah
yang kemudian pada akhirnya membuat Tomas mengaku bahwa Yesus adalah Tuhan. Sebelumnya
: ay. 25 “...sebelum aku melihat bekas
paku pada tangan-Nya, dan sebelum aku mencucukan jariku ke dalam bekas paku itu
dan mencucukan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan
percaya... “ à
perjumpaan itu mengubahkan à
menimbulkan pengakuan iman Tomas.
Pengakuan Tomas itu dipakai oleh Yesus
bahwa percaya tidak perlu didahului oleh melihat. Pernyataan Yesus terdiri dari
2 kalimat ‘karena engkau telah melihat Aku maka engkau percaya. Berbahagialah
mereka yang tidak melihat, namun percaya (20:29)
Sebenarnya dalam bahasa aslinya, kalimat
pertama berbentuk interogatif yaitu ‘hoti
eurakas me pepisteukas?” (karena engkau melihat Aku, engkau percaya?)
Di sini Yesus menyatakan bahwa percaya
bukan buah dari bukti, percaya timbul meskipun tidak ada bukti.
Kehadiran Yesus di tengah ketakutan yang dihadapi bagaikan suntikan vitamin
yang menyegarkan tubuh dan memberikan pengharapan yang baru. Itulah makna
kebangkitan Kristus.
Inilah yang juga mestinya menjadi keteguhan iman kita sebagai umat Tuhan
yang telah mengalami kuasa kebangkitan Kristus. Hidup dalam kuasa kebangkitan
adalah hidup yang penuh dengan pengharapan, damai sejahtera, dan terus dibarui
oleh Tuhan.
Dasar awal : PERCAYA! Percaya pada Yesus yang
bangkit à memberikan damai sejahtera yang memberikan dampak bagi
para murid termasuk kita.
Percaya pada Yesus yang bangkit à memberikan keberanian bagi para
murid untuk mempersaksikan Yesus yang adalah Tuhan dan Juruselamat mereka.
Memperhatikan bacaan 1 : tampak jelas. Perubahan
ini juga terjadi pada murid-murid Yesus ketika mereka berada di depan Mahkamah
Agung.
Kis 5:29 à Petrus dan rasul-rasul berani
menjawab bahwa mereka bersaksi demi nama Tuhan Yesus. Peristiwa kematian dan
kebangkitan serta pengalaman mereka bersama Yesus membuat mereka berani
bersaksi. Dampak percaya!
b.
Di antara kita (orang-orang yang ada dalam komunitas) juga belajar untuk menumbuhkan rasa saling
percaya. Meyakini : kehadiran orang lain memberikan makna yang berguna dalam
hidup kita.
Dalam proses itu, kita belajar untuk tidak
selalu menuntut dan memerintah, tetapi mendelegasikan dan memberikan
keteladanan.
Inilah yang juga terjadi
pada murid-murid Yesus. Mereka sadar bahwa mereka lemah. Bukan saja karena
kehilangan Yesus Sang Guru, namun kondisi eksternal tidak mendukung mereka.
Koalisi dan kolaborasi agama Yahudi dan pemerintah menjatuhkan vonis maut
sungguh-sungguh menciutkan nyali para murid. Mereka menjadi warga masyarakat yang
secara sistematis sengaja dimarginalkan.
Sikap kurang bersahabat
bahkan bermusuhan, jelas tergambar dari sikap para murid Yesus yang secara
sembunyi-sembunyi mencari aman dalam persekutuan di komunitas itu.
Indikasi ini kita dapat
dari fakta yang menyebutkan mereka bersekutu, bersama menutup pintu
rapat-rapat, karena mereka takut kepada orang Yahudi. Hal ini membuat mereka
berkumpul dan bersekutu, Mereka belajar saling memercayakan diri dan satu sama
lain saling mendukung, saling menopang, dan saling bergandengan tangan.
Akhirnya? Sebuah
pengharapan dan ketenanganlah yang mereka peroleh. Sekali lagi semua berawal
dari kesediaan diri untuk saling percaya satu sama lain.
(rangkum 2 point)
Gereja : kelanjutan dari
komunitas murid-2 Yesus. Belajar dari murid yang akhirnya bisa saling
memercayakan diri, maka mestinya itulah yang juga kita lakukan dalam keberadaan
kita sebagai komunitas umat Tuhan.
Tuhan memberkati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar