Kamis, 31 Maret 2011

Renungan Buletin Paideia Mar Apr 2011

Merefleksikan Bela Rasa Allah pada Manusia

Jumat, 11 Maret 2011 yang lalu, dunia digemparkan dengan pemberitaan tentang terjadinya gempa yang dilanjutkan dengan tsunami di Negara Jepang. Gempa berskala 8,9 skala richter ini terjadi pada kedalaman 24,4 kilometer di sebelah timur Honshu, Jepang, pk. 12.46 WIB atau 14.46 waktu setempat. Informasi Media Indonesia melaporkan bahwa Gempa yang terjadi di negara yang dijuluki Negara Matahari Terbit tersebut tercatat sebagai gempa bumi terbesar ketujuh di dunia. Lokasi gempa merupakan daerah subduksi, pertemuan antara lempeng Pasifik dan lempeng Amerika Utara. Lempeng Pasifik menekan lempeng Pasifik berada di bawah dari lempeng Amerika Utara yang bergerak rata-rata 9 cm per tahun. Gempa terjadi pada kedalaman yang relatif dangkal, yang berarti banyak energi yang dirilis pada dasar laut.
Bagi Jepang, gempa bumi kemarin merupakan gempa terbesar sepanjang sejarah. Tercatat gempa di Jepang terjadi di Sanriku 8,5 SR (1896) dan 8,4 SR (1933), serta Hokkaido 8,3 SR (2003). Sepanjang sejarah pencatatan gempa secara intensif, gempa tersebut merupakan yang paling kuat. Gempa dengan kekuatan yang hampir setara terakhir terjadi lebih dari 1.000 tahun lalu, yakni gempa pada tahun 869, yang diperkirakan berkekuatan 8,4 pada skala Richter. Catatan gempa bumi lain antara lain pada tahun 1923, ketika gempa berkekuatan 7,9 SR menghancurkan Tokyo dan Yokohama dan membunuh sekitar 142.800 orang. Gempa bumi Kobe pada 1995 berkekuatan 6,9 SR dan menyebabkan lebih dari 5.000 kematian dan melukai 36.000 lainnya.
Gempa bumi di Jepang ini kemudian memicu tsunami dengan ketinggian mencapai 10 meter. Peta getaran gempa yang dikeluarkan US Geological Survey (USGS) menunjukkan bahwa dataran pantai timur Jepang terkena gempa hingga skala VII-VIII MMI (modified mercalli intensity), yaitu sangat kuat hingga parah. Dampak yang ditimbulkan sangat dahsyat. Ribuan orang diperkirakan meninggal dunia dan hilang.  Jumlah penduduk di kota-kota di Jepang yang terpengaruh oleh getaran gempa dengan skala VII-VIII, seperti Tokyo, Chiba, Sendai, Takahagi, Ofunato, Itako, Hasaki, Oarai, dan Tomigawa, mencapai 10,5 juta jiwa.
Peristiwa bencana yang terjadi di Jepang , menambah rentetan bencana yang terjadi di dunia. Seperti kita ketahui bersama, ada begitu banyak bencana yang terjadi akhir-akhir ini. Mulai dari banjir di Australia (daerah Queensland), Brazil, India, bahkan hingga ke Indonesia, negara kita tercinta. Bencana yang terjadi meliputi : banjir di Wasior Papua Barat, gempa di Mentawai, meletusnya Gunung Merapi di daerah Jogjakarta, lahar dingin di Magelang, juga berbagai bencana lain yang terjadi.
Menghadapi serangkaian bencana yang menyedihkan dan mengerikan ini, ada begitu banyak sikap yang muncul. Ada pihak yang sepertinya biasa-biasa saja, karena memandang peristiwa itu tidak menimpa dirinya; atau ada yang justru mempertanyakan mengapa peristiwa ini bisa terjadi? Pertanyaan demi pertanyaan yang muncul pun berkembang menjadi pertanyaan “bernuansa teologis” demikian: Dimanakah Tuhan? Mengapa sepertinya Ia berdiam diri melihat bencana-bencana yang terjadi? Bahkan pertanyaan lain yang muncul pun kemudian berkembang pada pertanyaan mengenai hubungan antara bencana dan dosa manusia. Tidak sedikit umat Tuhan yang mempertanyakan apakah dosa manusia sudah sedemikian besar dan tak terampuni, sehingga terjadi begitu banyak bencana di dunia?
Dalam situasi yang tengah kita hadapi ini, amatlah tidak bijak bila kita hanya diam, bersikap apatis, bahkan dihinggapi beribu pertanyaan. Sebagai umat Tuhan, kita diajak untuk meneladani sosok Allah kita. Allah kita tidak tinggal diam menghadapi persoalan dan pergumulan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Justru Ia hadir dan merasakan apa yang dialami oleh manusia. Ia dekat dan berada di antara mereka yang sedang mengalami penderitaan dan pergumulan yang berat, semua dilakukan karena Ia mau berbela rasa kepada kita.
 Apakah arti bela rasa? Dalam bahasa Inggris, bela rasa berasal dari sebuah kata “compassion”. “Compassion” memiliki beberapa arti yang saling terkait antara satu dengan lainnya: 1) a deep awareness of and sympathy for another's suffering, 2) the humane quality of understanding the suffering of others and wanting to do something about it, dan 3) suffering with another; a sensation of sorrow excited by the distress or misfortunes of another; pity; commiseration. Atau yang kemudian diterjemahkan dengan: “kesadaran mendalam dan simpatik terhadap penderitaan, pergumulan, atau kesusahan orang lain, yang diwujudnyatakan melalui tindakan untuk menolong mengurangi kesedihan mereka”. Ada aksi/tindakan konkret yang dilakukan.  
Firman Tuhan dalam Injil Matius 9:35-38 mengungkapkan jelas bagaimana Yesus menyatakan bela rasa dan belas kasihan-Nya kepada mereka yang terlantar dan berada dalam pergumulan hidupnya. Jika kita memperhatikan kesaksian penulis Injil Matius, dituliskan jelas bahwa dalam perjalanannya berkeliling menuju semua kota dan desa untuk mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Sorga serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan (ini seperti dituliskan pula pada Mat 4:23, mengenai aktivitas Yesus. Digunakan kata’ didasko’ yang berarti mengajar, dan ‘kerusso’ yang berarti memberitakan. Seorang professor bernama A. Schlatter memberikan sebuah rumusan yang sangat bagus terkait dengan aktivitas Yesus ini. Schlatter mengatakan ”Yesus mengajarkan apa yang harus diperbuat oleh manusia, dan Ia memberitakan apa yang dilakukan oleh Tuhan”), ternyata Yesus berjumpa dengan begitu banyak orang yang datang kepadanya, dengan pergumulannya.     
Ada yang menarik kala itu, yakni bagaimana reaksi Tuhan Yesus ketika Ia bertemu dengan orang banyak pada waktu Ia berjalan berkeliling. Dituliskan dalam Firman Tuhan: ”Hati-Nya tergerak oleh belas kasihan kepada mereka”. Yesus tergerak oleh belas kasihan karena orang banyak itu lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala. Salah satu penafsiran menyebutkan bahwa kata “terlantar” lebih baik diganti dengan terjemahan harfiah “berbaring dengan tak berdaya lagi”.
Inilah sebuah gambaran yang diambil dari keadaan domba-domba, yang banyak dipelihara di Palestina. Waktu domba-domba beribu tahun lalu masih liar, binatang ini hidup seperti kambing, pintar mendaki gunung dan mencari makanan, namun setelah menjadi binatang yang jinak, domba itu tidak bisa berdiri sendiri lagi, tetapi bergantung penuh pada gembala. Jika gembala tersebut ada bersama mereka, maka semuanya dapat berjalan baik. Akan tetapi sebaliknya, jika sang gembala tidak ada bersama mereka, domba-domba gampang bercerai-berai, mulai mengembara tanpa tujuan, tidak bisa mendapat air, bahkan yang lebih ironis, domba-domba itu pun diukai oleh tumbuhan yang berduri, hingga binatang yang malang itu lelah dan berbaring tak berdaya.
Yesus melihat ‘kesamaan’ antara domba-domba itu dan orang banyak di Galilea. Mereka menderita baik secara badan, maupun secara rohani. Yesus melihat dan memperhatikan, tubuh mereka sepertinya lemah karena penyakit-penyakit. Tidak hanya itu, ia juga melihat bahwa jiwa mereka juga dalam kegelapan, pengetahuan orang-orang tentang kasih Tuhan dan tentang perintah-perintah Tuhan adalah samar dan kurang, bahkan beberapa di antara mereka sampai dirasuk oleh setan-setan. Ahli-ahli Taurat yang semestinya menjadi ‘gembala’ atas orang-orang tersebut, tidak menjadi pemimpin yang baik dan cocok.
Menghadapi kondisi yang memprihatinkan tersebut, Yesus hadir menyatakan bela rasa-Nya. Yesus hadir menjadi ‘gembala yang baik’. Hal ini menjadi bukti betapa Ia amat mengasihi kita semua. Ia merasakan apa yang kita gumulkan, Ia menderita ketika kita diperhadapkan pada penderitaan. Ia peduli kepada kita sebagai ciptaan-Nya. Itulah sesungguhnya hakekat bela rasa Allah.
Bela rasa Allah inilah yang kemudian menjadi tema utama masa raya Paskah di GKI Perumahan Citra I. Panitia mengambil tema “Paskah, Kala Allah Berbela Rasa pada Manusia”. Tema ini hendak mengajak kita agar di tengah kondisi yang dihadapi akibat bencana tersebut, menjadi tanggungjawab kita umat Tuhan, menemukan langkah-langkah bijak dan sesuai dengan kemampuan kita untuk ikut berperan dalam menanggung beban sesama kita. Langkah konkret yang seyogyanya akan dilakukan oleh panitia (bekerjasama dengan Majelis Jemaat bidang Kesaksian dan Pelayanan) adalah terlibat langsung dalam dalam kegiatan Gerakan Kemanusiaan Indonesia di Yogya dan Magelang. Kita berdoa memohon pimpinan Tuhan, agar kegiatan ini dapat terlaksana dengan baik.

Akhirnya, selamat merefleksikan bela rasa Allah kepada kita.
Selamat menyatakan bela rasa kepada sesama yang ada di sekitar kita,
dan selamat menyambut Paskah.
Tuhan memberkati.



Pnt. Gloria Tesalonika S.Si (Teol)