Senin, 23 Agustus 2010

Gampang-gampang Susah : bulan kel GKI CITRA (2009)


“GAMPANG-GAMPANG SUSAH!”

oleh Gloria Tesalonika S.Si (Teol)

Ketika diminta untuk menulis renungan yang akan dimuat dalam Paidea edisi bulan September-Oktober, yaitu edisi Bulan Keluarga, maka judul inilah yang langsung terbersit dalam pikiran penulis. GAMPANG-GAMPANG SUSAH! Mengapa demikian? Karena kalau membayangkan kehidupan sebuah keluarga, maka jawaban GAMPANG-GAMPANG SUSAH inilah yang seringkali muncul. Kalau pertanyaan seperti ini pun ditanyakan kepada kita apakah susah hidup berkeluarga atau malah sebaliknya hidup berkeluarga itu gampang? Tentu saja jawaban yang muncul akan beragam dan tergantung sudut pandang setiap kita, bukan?
GAMPANG! Kehidupan keluarga dikatakan mudah bila kondisi yang ada di dalamnya diibaratkan seperti sebuah jalan tol Cipularang: ‘lurus-lurus aja’, ‘adem-ayem’, atau disimpulkan dalam sebuah kata ‘bahagia’. Ada sebuah pengalaman menarik yang penulis temukan beberapa waktu lalu terkait dengan hal ini. Ketika itu penulis iseng berjalan-jalan ke wilayah Citra 2, karena sebagai ‘orang baru’ di Citra tentu saja penulis masih terus belajar beradaptasi dan salah satu hal yang dilakukan adalah mengenal wilayah Citra dan sekitarnya. Di tengah perjalanan di  Citra 2 itu, ternyata penulis tidak dapat menahan rasa lapar. Akhirnya, penulis memutuskan untuk mampir sejenak di KFC (Kentucky Fried Chicken). Saat penulis menunggu makanan yang dipesan itu datang, pandangan penulis tertuju pada sepasang sosok oma-opa yang sedang menikmati es krim. Bukan persoalan mereka sedang menikmati es krim yang menjadi perhatian penulis, tetapi lebih kepada relasi yang terjalin di antara keduanya. Tergambar jelas bagaimana dengan penuh kesabaran, sang oma menyuapi es krim tersebut kepada sang opa yang memang sudah tidak sanggup lagi untuk memakannya sendirian. Tidak hanya itu, ketika mulut sang opa penuh dengan lumuran es krim, sang oma yang berada di sampingnya tak segan untuk membersihkannya dengan penuh kasih.
Kisah ini tentu merupakan kisah yang sangat sederhana. Tak jarang, beberapa di antara kita pun, mungkin sudah pernah melihat dan menemukan kisah semacam ini. Namun ada sebuah refleksi yang hendak penulis paparkan di sini. Kondisi yang terjadi pada sepasang oma-opa, seperti yang saya kisahkan pada awal tadi adalah penggambaran kondisi ideal yang kita harapkan terus terjadi dalam kehidupan kita, khususnya kehidupan berkeluarga. Kondisi yang di dalamnya ada rasa care antar anggota keluarga, kasih sayang satu sama lain, serta saling mendukung (support) dalam berbagai hal. Jika kembali pada pertanyaan di awal tadi, maka kondisi seperti inilah yang akhirnya dapat membuat kita menyatakan hidup berkeluarga itu tidak begitu sulit.
Akan tetapi, yang kerapkali menjadi persoalan adalah, apa yang sesungguhnya ideal itu ternyata tidak seindah dengan apa yang ada dalam realitasnya. Tidak dapat dipungkiri, Kondisi yang terjadi dalam kehidupan berkeluarga justru adalah hal sebaliknya. Kalau secara teori kita dituntut untuk menjadi keluarga yang bahagia serta saling mengayomi satu sama lain, ternyata tidak demikian bila diperhadapkan pada realitasnya. Ada begitu banyak masalah, pergumulan, atau meminjam istilah yang lebih spesifik lagi yaitu ’krisis’, yang melanda kehidupan berkeluarga kita dalam konteks saat ini. Kalau dituliskan satu demi satu, berbagai krisis itu tentu tidak akan ada habisnya. Namun demikian, salah satu payung besar dari krisis itu dimulai pada krisis ekonomi global, yang secara tidak langsung sudah kita bawa menjadi krisis keluarga. Ini diungkapkan dengan tegas oleh Mariani Ng, approved Institute of Neuro-Semantics di Indonesia yang berafiliasi pada International Society of Neuro-Semantics, Colorado, USA, seorang yang memiliki keahlian dalam bidang Cognitive Behavioural Psychology dan Thinking Science. Betapa tidak!!! demikian ia nyatakan. Bila kita membaca surat kabar yang menuliskan tentang krisis global di Amerika, maka ini pasti mengingatkan kita tentang krisis bangsa Indonesia di tahun 1998 yang menimbulkan ‘kegentingan’ tatkala itu. Adanya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), perputaran uang menjadi ketat, pemenuhan kebutuhan yang kian hari kian sulit, ternyata sedikit banyak mempengaruhi otak dan pikiran kita. Belum lagi bila kemudian akibat dari persoalan-persoalan ekonomi global itu ternyata memberikan dampak pada krisis relasi dan komunikasi yang terjalin dalam kehidupan berkeluarga. Hubungan orangtua dan anak yang semakin terpisah oleh jurang ‘waktu dan konteks’ (penulis menyebut demikian karena memang ada ‘jurang’ yang cukup dalam yang terjadi antara orangtua dan anak. Orangtua seringkali mengalami kesulitan untuk memahami apa yang anak pikirkan dalam konteks modern saat ini); komunikasi antar pasangan yang melemah, karena masing-masing pihak ‘sibuk’ dengan urusannya sendiriyang penting aku bisa mendapat uang banyak untuk kehidupan keluargaku itu sudah cukup…, yang penting anak-anak bisa sekolah, jadi meskipun orangtua tidak ada di samping anak yah tidak apa-apa, dst… Jika pernyataan demi pernyataan seperti ini yang muncul maka kehidupan keluarga tersebut menjadi sulit, atau bila kembali melihat judul renungan ini, maka apa yang tadi disebut GAMPANG itu, mengalami pergeseran yang sebaliknya. Dewasa ini, banyak orang justru mengatakan: Ahh, SULIT hidup berkeluarga itu, banyak masalahnya, persoalannya, juga konfliknya!
Jika melihat pemaparan ini, maka kita tiba pada dualisme pemikiran yang cukup 
membingungkan dalam memandang apa dan bagaimana kehidupan sebuah keluarga. GAMPANG! Bila keluarga itu berada dalam zona aman, dan sebaliknya SUSAH! Bila keluarga itu berada dalam zona tidak aman, akibat krisis yang dialaminya. Lalu pertanyaannya adalah mana yang benar? Penulis mencoba memberikan pemikiran tentang hal ini. Memang, idealnya adalah kita mengharapkan situasi pertama inilah yang terjadi. Namun, sebenarnya situasi kedua pun dapat dilihat dengan sudut pandang baru. SUSAH itu dapat bergeser menjadi GAMPANG, bila kita memberikan paradigma baru dalam memaknainya. Paradigma yang bagaimana? Jawabannya sederhana. Paradigma yang memandang bahwa persoalan atau krisis itu menjadi sebuah proses pembelajaran bagi kehidupan keluarga. Persoalan yang kerapkali terjadi adalah kecenderungan manusia yang terus memandang bahwa permasalahan itu akan selalu menjadi hambatan bagi kehidupan mereka, baik secara pribadi maupun berkeluarga. Namun, apakah memang seperti itu? Apakah krisis, persoalan, atau permasalahan itu hanya menjadi sebuah hambatan dalam kehidupan kita? Ternyata TIDAK.
Penulis tertarik dengan apa yang dituliskan oleh Pdt. Robby Chandra dalam salah satu perenungannya yang menyatakan bahwa: ”bukan tidak mungkin sebuah keluarga dididik oleh Tuhan melalui begitu banyak persoalan atau krisis yang dihadapi”. Beliau juga menuliskan lebih lanjut bahwa bila perlu didera, disakiti agar perhatian kita tidak menjauh dari Tuhan, persoalan atau krisis itu dapat terjadi dalam kehidupan keluarga kita. Pertanyaannya adalah apa sebenarnya makna dari pernyataan ini? Artinya adalah bahwa melalui persoalan yang dihadapi dalam kehidupan keluarga kita, Ia ingin kita hidup berbeda di dalamnya. Berbeda yang bagaimana? Pertama, beda itu terlihat dari upaya kita menjaga kekudusan (artinya= menjadi keluarga yang dikhususkan bagi-Nya). Jika kata ’dikhususnya’ itu muncul, maka ini berarti bahwa keluarga kita menjadi keluarga yang berharga dan unik di mata Allah. Beda kedua adalah di dalam kita memfokuskan diri pada kasih karunia-Nya, apakah memang kita hidup dalam kebergantungan dengan-Nya, atau sebaliknya merasa bahwa kita dapat hidup dengan kemampuan diri kita sendiri. Inilah yang menjadi persoalannya. Sehingga kita tiba pada makna yang terakhir, makna yang ketiga, yaitu Ia ingin kita tidak hidup dalam kepahitan, kemarahan, kebencian, kesepian, dan semua luka-luka karena kegagalan mengenali kasih karunia-Nya melalui persoalan hidup yang kita hadapi. Kembali penulis tegaskan bahwa inilah paradigma baru yang penting, tatkala memandang ’krisis’ yang ada di depan kita.   
            Ketika penulis mencoba merefleksikan apa yang dituliskan ini, penulis sungguh menyadari bahwa krisis dan persoalan itu memang ada dan menjadi bagian dalam kehidupan setiap keluarga. Akan tetapi, ketika kita menyandarkan hidup seutuhnya kepada Tuhan, maka kita dapat memaknai bahwa krisis ini dapat menjadi sebuah proses pembelajaran bagi keluarga itu sendiri. Kita harus meyakini bahwa di dalam setiap persoalan yang kita hadapi dalam kehidupan kita baik pribadi dan keluarga, sesungguhnya Tuhan hendak ’membentuk’ kita untuk menjadi pribadi-pribadi yang senantiasa mengandalkan Tuhan dalam hidup. Penulis teringat dengan apa yang difirmankan dalam Yeremia 17:7-8 yang menyatakan:

”Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan,
 yang menaruh harapannya pada Tuhan!
Ia kan seperti pohon yang ditanam di tepi air,
yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air,
 dan yang tidak mengalami datangnya panas terik,
yang daunnya tetap hijau,
 yang tidak kuatir dalam tahun kering,
dan yang tidak berhenti menghasilkan buah”.

Nabi Yeremia dalam Firman Tuhan ini mencoba mengibaratkan hidup manusia sebagai sebuah pohon. Seperti kita ketahui, pohon membutuhkan air untuk kehidupannya. Pohon akan bisa bertumbuh dengan subur kalau cukup makanan dan air. Pohon yang ditanam di tepi air akan merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, sehingga kendati musim panas, pohon ini akan tetap segar dan daunnya tetap hijau, tumbuh dengan subur dan terus berbuah. Demikianlah orang yang mengandalkan Tuhan dan menaruh harapan kepada Tuhan  dalam kehidupannya. Ia tidak akan pernah mengalami kekhawatiran dalam hidupnya.  Meskipun ada begitu banyak tantangan dan pergumulan yang harus dihadapi, entahkah dalam kehidupan pribadi, atau juga kehidupan keluarganya, ia tetap mampu melalui itu semua karena senantiasa memiliki pegangan dalam hidup, yaitu Tuhan yang senantiasa mengasihi dan menilik kehidupan yang dilaluinya.   
Apa yang penulis paparkan ini pula yang kemudian melatarbelakangi munculnya tema ’Krisis sebagai Proses Pembelajaran Keluarga Bijaksana’ dalam Bulan Keluarga nanti (info lebih lanjut akan diuraikan dalam info Bulan Keluarga pada Paidea edisi ini). Kiranya perenungan ini dapat menjadi sebuah ’pintu masuk’ bagi kita untuk melihat dan menggumuli hidup kita dan keluarga. Tuhan Memberkati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar