Kamis, 31 Juli 2014

Masihkah Hati Kita Terkoyak



RENUNGAN WJ 20 JULI 2014

MASIHKAH HATI KITA TERKOYAK?
TUHAN-lah yang empunya bumi serta segala isinya,
dan dunia serta yang diam di dalamnya (Mzm 24:1).

Potret ketidak-adilan dan ketidak-setaraan terbuka lebar di belahan bumi mana pun, bahkan acapkali terpampang di sekitar kehidupan kita sehari-hari. Dominasi global, penyalahgunaan kekuasaan, keserakahan dan individualisme telah menyebabkan kerusakan ekonomi, sosial, budaya dan politik global. Kerusakan bumi dan manusia semakin nyata terlihat mendunia, termasuk di Indonesia.


Fenomena Global
Temuan berikut adalah sebuah fakta tentang kerakusan manusia untuk melahap kekayaan bumi ciptaan Allah dan segenap isinya. Dan ini semakin memperlebar jurang kesenjangan antar manusia dan antar institusi negara. Pada tahun 2003, ada 7,7 juta orang memiliki kekayaan 1 juta dolar AS atau lebih. Jumlah kekayaan mereka ini mencapai 28,9 triliun dolar AS, atau hampir tiga kali lipat produksi nasional AS pada tahun yang sama. Pada saat yang sama, 840 juta orang di seantero dunia kekurangan pangan dan 1,5 milyar orang yang kebanyakan adalah perempuan, anak-anak dan penduduk asli hidup dengan kurang dari 1 dolar AS per hari. Konsumsi barang dan jasa 20% orang-orang terkaya dunia setara dengan 86% konsumsi global. Penghasilan tahunan dari orang-orang terkaya yang berjumlah 1% sama dengan penghasilan orang-orang termiskin yang berjumlah 57%, dan paling sedikit 24.000 orang meninggal setiap hari karena kemiskinan dan kurang gizi.
Masalah-masalah lingkungan hidup pemanasan global, penipisan sumber daya alam, dan hilangnya keanekaragaman hayati semakin parah saja. Sebagai contoh, kita akan kehilangan 30-70 persen dari keanekaragaman hayati dunia dalam kurun waktu 20-30 tahun ke depan. Akibat pemanasan global yang terus meningkat mengakibatkan punahnya spesies-spesies dari bumi. Menurut penelitian, dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, 25% spesies hewan dan tanaman punah akibat pemanasan global. Sementara itu perang juga terus berkecamuk di banyak bagian dunia, militerisme dan kekerasan telah menjadi bagian kehidupan kita sehari-hari. 1)

Fenomena Lokal
Indonesia adalah negara yang kaya potensi sumber daya alam, dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia (245 juta jiwa) dan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua (5,9% per tahun) dalam kelompok Negara-negara G-20. Namun Indonesia juga merupakan negara paling korup (peringkat 64 dari 177 negara), dengan kesenjangan kesejahteraan yang sangat (dan semakin) lebar. Jumlah penduduk miskin 11,37% dari populasi, atau 28,07 juta jiwa (Maret 2013). Tingkat pengangguran 6,25% atau 7,39 juta jiwa dari angkatan kerja (Agustus 2013). Distribusi kekayaan yang timpang: 17 orang Indonesia terkaya menguasai 5% PDB Indonesia (setara US$ 41,1 miliar). Disamping itu, kerusakan hutan meningkat dua kali lipat menjadi 20.000 Km2/tahun (2012). Dan masih terjadi ketimpangan lainnya atas nama pembangunan: perdagangan manusia, eksploitasi tenaga kerja perempuan dan perpindahan rakyat secara geografis, ekonomi, politik, budaya dan ekologis, di mana kegiatan dan modal umumnya masih terpusat di Jawa dan Sumatera. Sistem kapitalisme yang menghasilkan pola-pola relasi sosial (gender, kelas, ras, kebangsaan dan lainnya) dan ketergantungan yang mengeksploitasi perempuan dan anak. 2)
Tuturan pemazmur bahwa bumi serta segala isinya adalah milik Tuhan bagaikan hiasan ayat suci yang kita taruh di kaca lemari pajangan. Kita sering merasa apa yang kita punyai dalam hidup ini adalah milik kita karena kita telah berjuang mati-matian untuk dapat memilikinya. Legalisasi kepemilikan pun ada di tangan kita sehingga kita merasa sah untuk melakukan tindakan apapun seperti yang kita mau. Kita lupa bahwa orang lain dan sesuatu yang lain di luar diri kita adalah ciptaan dan milik Tuhan yang tidak boleh kita abaikan begitu saja. Hati yang trenyuh saat doa pengakuan dosa apakah hanya ada dalam ibadah minggu? Apakah  hati kita masih terkoyak ketika praktik ketidak-adilan ada di depan mata atau bahkan mungkin tanpa sadar kita sedang tergoda untuk melakukan tindakan serupa karena alasan kenyamanan diri yang enggan terusik dan tidak rela berbagi?
                                                                                                                
Widyadi Purwosuwito

1)          Dokumen refleksi 048A Raker BPMSW 2007-2011 oleh Pdt.Kuntadi Sumadikarya, dan dokumen AGAPE oleh Tim Keadilan Perdamaian dan Ciptaan DGD Jenewa 2006, diterbitkan oleh Pelayanan Masyarakat Kota HKBP Jakarta, 2008.
2)          Term of Reference Seminar Nasional “Keserakahan, Keadilan dan Perdamaian” oleh Oikotree Indonesia, 2014.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar